Pages

Showing posts with label kontemplasi. Show all posts
Showing posts with label kontemplasi. Show all posts

Monday, August 17, 2015

Yogya vs Moge

Akhir pekan ini, dunia sosmed ramai oleh aksi Elanto, seorang warga Yogya yang dengan berani menghentikan jalannya konvoi rombongan moge. Semua pasti sudah mengetahui kejadiannya, dan apa penyebabnya. Berbagai media mengangkat hal tersebut, ditambah penyebaran yang cepat melalui sosmed. Saya juga tidak terlalu ingin membahas "apa"nya. Saya lebih tertarik pada "mengapa"-nya.

Pilih lah random beberapa orang di jalanan. Tanyakan pada mereka, apa kesan terhadap anak moge? Saya yakin mayoritas akan memberi jawaban yang konotasinya negatif. Songong lah; seenaknya sendiri lah; merasa orang kaya lah (ini topik klasik yang nggak habis-habis -- kecemburuan sosial) dan banyak lagi probabilitas jawaban lainnya.

Monday, April 06, 2015

"Aah nggak seberapa ini...."

Sekedar berbagi karena ini merupakan kesalahan yang seringkali kita lakukan (ya, saya juga) tapi ternyata berdampak besar.

Tidak jarang kita mengambil/memakai/meminjam barang milik teman tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jumlah/nilainya yang tak seberapa membuat kita berpikir "Aaah cuma segini kok... gak seberapa."

Tapi tahukah teman bahwasanya dari nilai yang tak seberapa itu, jika tidak dibarengi dengan keikhlasan pemilik barang, bisa menjadi ganjalan kita untuk masuk pintu surga nanti?

Tiap orang sudah diatur rejekinya masing2. Menambah hak kita dengan mengurangi hak orang lain, berarti kita sudah melanggar apa yang menjadi ketentuan/ketetapan YME.

Belum lagi masalah hubungan antar sesama. Pemaafan atas penganiayaan merupakan hak prerogatif mahluk. Tuhan sendiri tidak punya otoritas di dalamnya. Ketika kita mengambil hak orang, sama halnya dengan menganiaya orang tersebut.

Jangan sampai amal ibadah kita yang banyak dan besar2 jadi sia2 hanya karena kesalahan sepele. Sayang kan...

Thursday, October 17, 2013

Just Keep Swimming... Just Keep Swimming...


Pasti pada heran yah, kenapa judul dengan gambar yang ditampilkan kok ndak ada hubungannya. Jadi ceritanya begini, judul itu terinspirasi dari salah satu adegan dalam film animasi Finding Nemo. Persisnya pada scene di mana Dori mengajak Marlin menyelam hingga ke kedalaman yang tidak tercapai sinar cahaya. Gelap. Marlin begitu ketakutan. Dori, sebaliknya, memiliki semangat yang berbeda. Dengan penuh keceriaan dia malah bersenandung "just keep swimming... just keep swimming.." dan mengajak Marlin untuk terus turun.

Tuesday, September 14, 2010

Lebaran 2.0

Masih lekat dalam ingatan saya ketika segalanya masih bersifat manual. Setiap menjelang lebaran, saya sudah menyiapkan tumpukan kartu ucapan untuk dikirimkan ke kerabat, handai taulan, si dia (halah, istilah ini katro bener rasanya).

Dalam tiap kartu hanya ucapan standar yang tercantum. Selamat Idul Fitri, 1 Syawal XXXX H; Mohon Maaf Lahir Dan Batin (saya ingatkan, kesalahan ini sering sekali terjadi; penulisan kata sambung dengan huruf besar adalah melanggar kaidah EYD).

Untuk memberi sentuhan pribadi pada kartu tersebut, selain tanda tangan, biasanya saya sertai sedikit tulisan pendek. Semua dilakukan secara tulis tangan. Pesan dalam kartu, tanda tangan, penulisan alamat pengirim dan penerima; semuanya. Meletihkan tapi juga menyenangkan.

Monday, August 30, 2010

Tentang Perubahan


"Tak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan."
...dan saya percaya itu. Perubahan, meski untuk sebagian orang bisa terlihat sebagai hal yang menakutkan, adalah hal yang tak terelakkan. Kadang perubahan itu membawa ke arah yang lebih baik (kondusif), kadang sebaliknya (destruktif). Apa pun itu, perubahan tetap harus dilakukan untuk menjaga konsistensi siklus kehidupan. Begitu juga dengan blog ini.

Friday, August 27, 2010

Kepulan Debu pun Beterbangan

Bahwasanya kejadian di dunia ini terjadi dengan sendirinya, saya percaya itu. Alur cerita dan adegan dalam kehidupan ini mengalir begitu saja. Sebuah skenario besar sudah disiapkan. Kita semua adalah pemainnya. Tanpa naskah, tanpa sinopsis, kita melakoni peran masing-masing dan melakukan apa yang "diperintahkan" tanpa perlu bertanya.

Thursday, January 03, 2008

Resolusi 2008

Dua jam 19 menit lepas dari 2007.
Istri sudah tidur, anak-anak apalagi.
Hm... waktunya bikin resolusi nih.
Ritual tahunan kebanyakan orang yang seharusnya bukan lagi sekedar formalitas.
“Sadar Cin! Inget umur. Pasang target, berupaya sekuat mungkin. Selebihnya, berhasil atau nggak itu urusan Maha Kuasa.” kata saya pada saya dalam hati.
Karenanya, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dimana saya nggak pernah sekalipun pasang resolusi, awal tahun ini saya coba pendekatan lain.
Tapi mohon maaf, karena resolusi saya sifatnya sangat personal, saya ngerasa nggak enak mencantumkannya di sini, di area publik.
Yang jelas selain beberapa resolusi, ada juga harapan buat saya, Anda, kita semua. Semoga tahun ini kita bisa lebih bijak menghadapi hidup.
Teguran dari alam semesta sudah sedemikian keras, mau tunggu seperti apa lagi supaya kita bisa melek?
Kalau kita semua masih menganggap bahwa itu adalah teguran untuk pemerintah saja, sepertinya itu salah besar. Alam nggak pernah menegur secara parsial.
Dosa dan kesalahan kita kolektif sifatnya. Aktif maupun pasif, kita punya peranan.
Jadi mungkin ada baiknya kalau kita berhenti untuk sekedar berkeluh kesah dan mulai untuk mencoba. Banyak yang sudah berani memulainya masakkan kita nggak sih?
Ikan hiu di lemari, yiuuuuuk mariiiiiiiii!

Thursday, November 22, 2007

Apa Persamaan Inggris & Indonesia?


Image di-link dari sini.

Secara fisik, orang Inggris dan Indonesia sudah jelas beda. Geografi, apalagi. Ekonomi? Nggak perlu dibahas. Kedisiplinan dan etos kerja? Yah sebagian orang Indonesia sudah mulai memiliki etos kerja yang baik. Mencoba profesional. Tapi itu juga sebagian keciiiiiil banget.

Tapi bersukurlah. Dibalik banyak perbedaan itu kita masih punya persamaan. Sama-sama nggak muncul di putaran final Piala Eropa 2008! Horeeeeeee.


PS
Mustinya kita minta Nike pasang baliho raksasa lagi pas pertandingan pra-kualifikasi piala dunia lawan Suriah. Mungkin saja hasilnya beda.

Thursday, November 01, 2007

Ada Yang Lain Lebaran Tahun Ini



Acara keluarga istri tiap lebaran selalu sama dari tahun ke tahun. Selalu ada ke-nggak-nyambungan (mayoritas keluarga bapak mertua adalah lulusan teknik, sementara saya dari sosial), selalu ada ke-gagap-era-an (istri saya adalah yang tertua di antara sepupu-sepupunya; bahkan ketika kami menikah, semua sepupunya masih ABK - anak bau kencur), selalu ada pra-rasa-ketidak-nyamanan.

Begitu juga di lebaran tahun ini. Sebagai anak sulung, kali ini 'bokap mertoku' ketiban pulung jadi tuan rumah ngumpul keluarga. "Ah sudah lah... cuma beberapa jam ini. Lagipula setahun sekali kan ndak ada salahnya ngorbanin perasaan demi membahagiakan beliau" begitu kurang lebih justifikasi yang saya siapkan. Tapi tetap saja, PS2 dibawa untuk jadi bahan pelipur lara kalau-kalau nanti saya benar jadi mati-gaya di depan saudara-saudara dari pihak istri. Masuk kamar, main WE (Winning Eleven) sampai semua pada pulang. Semudah itu.

Akhirnya satu persatu adik-adik bapak mertua pun datang. Istri/suami serta anak-anak mereka tentu nggak ketinggalan. "Bye-bye happines, welcome boredom!" batin saya. Ucapan formalitas pun kemudian lancar mengalir.
"Apa kabar....?"
"Minal aidin ya..."
dll...
dsb.
@#$@#%#%@#%@#%@#%... wes ewes ewes... bablas rasane.

Sampai akhirnya selesai makan semua ngumpul. Orang tua ngumpul di sisi belakang, anak-anak ngumpul di dalam rumah. Yang tua ngobrol, yang muda ng-UNO (maen kartu UNO). Saya mau tak mau bergabung dengan para orang tua, habis ngumpul sama sepupunya istri malah mbingungi. Nggak punya topik yang bisa nyambung buat ngobrol. Ketahuan sama orang tua, setidaknya biarpun basa-basi, masih bisa disambung-sambungin.

Sungguh mengejutkan!

Nggak tauk kenapa, tahun ini topik obrolan mereka (para orang tua; red.) beda dari tahun-tahun lalu. Subyek yang biasanya nggak jauh dari pekerjaan kini lebih manusiawi. Mereka ngobrolin masa lalu, nostalgia. Sepertinya perjalanan usia mereka membawa wacana yang lebih nyaman untuk saya dengarkan. Mendengarkan cerita bagaimana mereka menghabiskan waktu di masa kecil, sungguh menyenangkan. Imajinasi saya seperti terbawa dan mencoba ngebayangin gimana suasana waktu itu. Bapak mertua, dengan gaya 60-an, dalam tone warna sephia, bermain dengan adik-adiknya. Sederhana sekali tapi begitu memorable.

Obrolan pun berpindah-pindah dari cerita satu ke cerita yang lain melintasi kurun waktu yang berbeda-beda. AJAIB. Saya nggak lagi bosen, nggak lagi males, nggak lagi jenuh. Saya justru menikmati kebersamaan hari itu. Hm... ada apa ya. Apa mereka yang sudah bosan dengan kisah-kisah kekinian sehingga lebih suka membahas masa lalu, atau memang saya yang sudah bisa memasuki khasanah pembicaraan mereka? Entah lah. Tapi satu hal yang saya rasakan, mungkin inilah dasar dari kebutuhan hidupan yaitu untuk MENGENANG dan DIKENANG. Sepertinya itu juga yang jadi alasan kenapa blog ini lahir. Dari keinginan saya untuk bisa mengenang apa yang sudah saya lewat disertai harapan suatu saat saya bisa dikenang dari catatan kurang penting di blog ini.

Bagaimana dengan Anda?

Tuesday, July 10, 2007

Jangan Berhenti Bermimpi


Sebuah petuah lama yang terdengar usang. Mungkin karena kita sudah terbiasa untuk tidak menggantungkan harapan pada mimpi. Sudah terlalu banyak kejadian-kejadian yang bikin kita merasa nyangkut di titik tertentu. Titik dimana kita udah begitu yakin dengan ketidakmampuan kita. Titik dimana optimisme justru terletak pada keyakinan kalau kita nggak akan sanggup.

A: "Nggak bakal diapprove deh idenya..."
B: "Pesimis amat sih?"
A: "Justru optimis nggak bakal lolos."

Qeqeqeqe... becandaan-becandaan satir seperti itu rasanya udah sering terdengar belakangan dan bahkan bisa jadi keterbiasaan. Wajar dong, kalau kegagalan demi kegagalan terus terjadi, kita sendiri sudah susah ngebedain mana takdir mana qodir (lho, apa hubungannya? emang nggak ada hubungannya weks...). Maksudnya adalah, kalo udah kebiasaan gagal, sepertinya kita jadi terbiasa dengan kegagalan itu sendiri. Akibatnya keberhasilan adalah suatu kemewahan yang hampir nggak pantas buat kita nikmatin, bahkan untuk sekedar dimimpiin.

Tapi sepertinya hari ini saya boleh sedikit berimprovisasi dengan mimpi. Lewat siaran langsung di layar kaca, saya baru aja menyaksikan perjuangan anak-anak bangsa (cie... istilahnya) di kancah (halah, istilah aneh lagi qeqeqe...) AFC, alias Piala Asia. Sejak kekalahan demi kekalahan sudah jadi jadi tradisi, pertandingan pertama Indonesia lawan Bahrain (semifinalis piala Asia yang lalu) sudah diwarnai dengan semangat optimisme under dog: bisa seri aja bagus. Nyatanya? Kita malah berhasil memukul lawan 2-1. Gol-golnya indah pula.

Pencapaian ini memang masih dini untuk dirayakan. Namun buat saya, sudah cukup untuk bisa memulai mimpi-mimpi lama yang sudah berkarat karena sangat jarang terpakai. Sudah cukup untuk bisa menyalakan semangat "dengan keinginan kuat, nggak ada yang nggak mungkin". Ivan Kolev malam ini setidaknya boleh berbangga dalam tidurnya. Entah apa yang dia impikan. Mimpi saya sepertinya sederhana saja, Indonesia bisa menjadi juara piala Asia 2007 (sederhana muke lo jauh Cin! hahahaha). Eh, tapi kenapa nggak? Ya nggak? Siapa tahu nanti saya juga bisa melihat anak pertama saya mengenakan seragam di atas? Siapa tahu... ya kan?

Setidaknya, jangan pernah berhenti bermpimpi. Ok broer? (kata ganti yang sering dipake Petrus sang pengisi VO qeqeqe).


Terima kasih khusus buat tim Indonesia.

Tuesday, June 19, 2007

Saya Anaknya Si Anu


(Image boleh minjem dari www.donnabellas.com)


Meski bukan termasuk orang yang fanatis dengan idealisme tentang kemandirian dan ke-menjadi-diri-sendiri-an (nah lho, bahasa apa pula ini), bisa dibilang saya cukup anti dengan pola KKN. Sebisa mungkin saya nggak pernah bawa nama orang tua dalam apa pun urusan. Selain bapak saya bukanlah petinggi atau orang penting, saya juga nggak pernah mau dapat cap sebagai "si X yang anaknya bapak Y".

Nama aja saya nggak bawa nama keturunan. Budi Santoso, titik. Bapak saya bukan Santoso, bukan pula bernama-belakang Santoso. Itu nama pasaran yang independent dan tidak terkait dalam strata, agama, ras, keturunan atau unsur apa pun yang bisa mempengaruhi penilaian obyektif orang lain atas saya.

Bukannya saya nggak bangga menjadi anaknya bapak saya. Bangga saya nggak bisa diukur dari ritualitas pasang nama belakang. Bangga saya gak terdeskripsikan. Saking besarnya sampai saya sampai sekarang belum pernah punya kekuatan untuk bilang ke bapak saya, "Dad, I'm proud to be your son" --> ngeles mode is on, padahal sih udah kemakan budaya gengsi yang selalu memaksa agar saya bersikap jaim; sebuah budaya (atau habbit ya) yang gak penting dan memalukan.

Terakhir kali dan pertamakalinya saya memanfaatkan nama bapak saya adalah saat saya pernah mencoba melamar kerja ke sebuah perusahaan yang kepemilikannya 100% punya negara (alias pegawai negeri hahahaha). Saat itu saja saya sudah cukup malu untuk mengakui bahwa saya melakukan praktik nepotisme. Tapi dalam proses testingnya saat saya ngobrol dengan sesama calon pegawai, ternyata semuanya memang masuk lewat jalur khusus hahaha. Typical!

Semenjak saat itu saya memutuskan untuk tidak lagi memanfaatkan koneksi orang tua. Saya pun lepas dari institusi kepemerintahan tersebut dan kembali terjebak dalam industri dinamis (yang oleh sebagian orang disebut sebagai industri tai kucing; pardon my language) bernama ADVERTISING. Ya, saya kembali ke industri ini dengan keinginan bisa lepas dari ketergantungan pada orang tua dan bisa menunjukkan bahwa saya juga mampu untuk berdikari (hahahaha kapan terakhir kali istilah ini dipakai orang ya?). Sampai akhirnya sebuah peristiwa memaksa saya kembali menelan ludah.

Sekitar sebulan lalu saya terpaksa harus berurusan dengan aparat penegak hukum untuk mengadukan sebuah kejadian. Tapi memang sistem hukum kita agak ajaib, "lapor hilang ayam malah hilang kambing" terjadi pada diri saya. Status sebagai korban, eh malah dipersulit. Maunya ngikutin prosedur malah jadi babak belur. Sudah jatuh, ketimpa tangga + kaleng cat + tukang catnya sekalian. Mau tak mau telepon sakti pun berdering kembali. "Hubungin om X aja, atau om Y barangkali mereka bisa bantu", begitu kata orang tua saya. Dan saya pun melakukannya. "Siang Om, saya A anaknya pak B, gini om... mau minta tolong....bla bla bla bla...". Anehnya, lewat dua kali telepon dan beberapa kali SMS, urusan saya jadi lancar.

Dueeeng.

Malamnya saya pun merenung, mau sampai kapan kaya' gini ya? Apa saya nggak bisa lepas 100% dari nama orang tua? Saat godaan itu demikian besar, saya pun jadi maklum kenapa anak-anak petinggi masih suka membawa nama orang tuanya. Bapak saya aja yang cuma pensiunan pegawai negeri golongan III-A bisa punya jalur yang cukup membantu, gimana yang Eselon? Sepertinya saya harus nambahin poin dalam surat wasiat saya nantinya yang bunyinya kurang lebih seperti ini:
"Anakku, saat kepepet, manfaatkanlah segala macam bantuan yang bisa kau peroleh. Nama bapak pun boleh kamu pakai". Hehehe.... moga-moga saat itu nama saya bisa cukup punya pengaruh. Haduh biyuuuung.


Terinspirasi dari tulisan Diki Satya
dan kejadian buruk yang baru aja lewat.

Monday, April 16, 2007

Hiro The Hero




Heroes; serial ini emang ciamik poll. Berkisah tentang orang-orang dengan kemampuan luar biasa. Menariknya, tokoh-tokoh ini bukan lah manusia super. Mereka punya kelebihan, tapi masing-masing cuma punya satu. Ada yang bisa terbang tapi nggak punya kekutan super (bisa mengangkat benda berat), ada yang bisa melukis masa depan, ada yang bisa menyembuhkan luka dengan cepat, dan lain-lain. Salah satu tokoh yang cukup menarik perhatian saya adalah Hiro.


HIRO

Kemampuan dia adalah yang berkaitan dengan waktu. Dia bisa menghentikan waktu, bisa berkelana menembus waktu. Lucunya, sosok Hiro ini digambarkan sebagai orang yang paling polos. Pikirannya lugu dan belum terkontaminasi. Tujuan dia cuma satu, bisa mempraktikkan kemampuannya untuk menolong orang lain. Dalam rangka mencapai tujuannya itu dia berkelana ditemani sahabat kantornya.

Di episode-episode awal digambarkan bagaimana Hiro berusaha mengembangkan kemampuan dia untuk menembus waktu dan tempat. Lucunya, karena dia juga masih baru belajar, dia juga bisa nyasar. Tadinya cuma mau mundur satu hari ke belakang, eh malah sampai 6 bulan. Di saat lain dia bisa kembali ke waktu yang tepat sesuai keinginannya, tempatnya malah nyasar ke negara lain hahahaha.

Keluguan Hiro tergambar pas dia sama temennya di Las Vegas. Karena kepepet dan nggak punya uang, terpaksa lah Hiro; yang dengan berat hati; main curang saat berjudi. Keluguan ini juga yang mendorong Hiro rela meninggalkan kenyamanan hidupnya di Jepang untuk melanglang buana menolong sang Cheerleader. Semua dia lakukan karena mendapat pesan dari Hiro masa depan (yang sudah ahli dalam menjelajah waktu) yang bilang "Save the cheerleader, save the world". Entah apa maksud dari pesan ini, karena sampai episode sekarang masih belum jelas juga kenapa dengan nyelametin cheerleader, dia bisa nyelamatin dunia.

Anyway, kembali ke Hiro. Tekad dia yang kuat untuk bisa menolong orang lain membuat dia nekad ke Las Vegas. Pergi ke tempat yang dia belum pernah datangi sebelumnya. Bertemu dengan orang yang belum pernah dia temui. Satu-satunya dewa penolong dia adalah temannya yang orang biasa saja tapi kebetulan bisa berbahasa Inggris lebih lancar dari Hiro.

Menembus ruang dan waktu, memang sudah merupakan hal yang mengagumkan. Berani mengalahkan ketakutan diri sendiri untuk kemudian pergi ke tempat-tempat yang tidak pernah didatangi demi satu tujuan sederhana, buat saya ini justru lebih luar biasa.

Dalam kenyataan banyak sekali kita temukan orang yang terjebak (atau memerangkapkan diri) berada dalam comfort zone. Kenyamanan hidup membuat mereka terlena untuk mencoba melihat sisi yang beda. Takut mencoba hal baru. Terobsesi akan kemapanan. Paranoid akan perubahan. Tidak... tidak ada yang salah dengan comfort zone. Sama nggak salahnya dengan mereka yang merasa nyaman berada dalam area itu. Tapi satu hal yang perlu dipikirin juga bahwa perubahan-perubahan besar biasanya lahir dari keinginan untuk merombak kemapanan meski kita harus mengorbankan hal-hal yang lebih besar. Selama itu membawa manfaat yang lebih baik, perjuangan seberat apa pun patut dicoba.

Wednesday, January 03, 2007

2007 = 2+0+0+7 = 9 = feeling lucky?

Jatuhnya satu pesawat Adam Air, tenggelamnya KM Senapati, banjir di NAD...

Selamat datang 2007

Semoga kita bisa belajar untuk menghargai kehidupan ini.

Sunday, December 10, 2006

Selingkuh, Poligami dan Kehidupan



"Mending mana? Selingkuh apa poligami?"
"Yeeee nggak ada yang mendingan. Yang satu dosa, yang satu nyesekin."
"Kalau harus memilih?"
"Mending nggak milih dua-duanya. Setia lah dengan pasangan."
"Tapi kenapa hasil survey mengatakan, 2 dari 3 suami berselingkuh?"
"Itu sih emang lakinya aja yang bejat!"
"Jadi kalau orang yang selingkuh, pasti bejat?"
"Iya!"
"Berarti 2 dari 3 suami itu bejat ya."
"Iya kali."
"kalau yang poligami, bejat nggak?"
"Tergantung alasannya sih?"
"Emang ada alasan yang tepat dan sangat kuat untuk membenarkan poligami?"
"Yah kalau emang untuk menolong janda miskin yang nggak mampu..."
"Emang kalo mo nolong harus pake dikawinin?"
"Hm... kaya'nya sih nggak ya."
"Terus kenapa dulu poligami diijinkan?"
"Ya itu tadi, untuk menolong. Jaman nabi kan itu dilakukan untuk membantu janda-janda korban perang serta untuk membebaskan budak."
"Tapi kenapa sekarang kebanyakan pada kasus poligami, istri baru selalu lebih muda?"
"Itu berarti berdasarkan nafsu. Itu baru bejat!"
"Kalau suami lo mau menikahi wanita yang lebih jelek dari elo untuk menolong, lo ikhlas?"
"Nggak lah! Masak gue aja nggak cukup? Udah gitu milih perempuannya yang nggak selevel ma gue. Harga diri bok."
"Kalau perempuannya jauh lebih cantik dari elo?"
"Nggak setuju juga. Nanti dia lebih sayang ke yang baru lagi."
"Kalau dia bisa adil kasih sayangnya?"
"Tetep nggak setuju!"
"Tapi kan di agama dibolehkan."
"Iya, tapi kan banyak syarat-syaratnya."
"Kalau semua syarat terpenuhi, lo akan ijinin suami lo berpoligami?"
"Hm... nggak juga sih. Prinsipnya gue nggak mau dimadu. Kalau suami gue mau kawin lagi, mending gue dicere' aja."
"Mending suami lo selingkuh kalo gitu?"
"Poligami aja nggak, apa lagi selingkuh."
"Kalau suami lo selingkuh, apa yang akan lo lakukan?"
"Ya coba ditanya, barangkali ada kesalahan gue juga yang bikin dia selingkuh. Biar gimana pun, pernikahan kan sakral."
"Tapi kalo suami lo poligami, lo pasti minta cerai?"
"Iya!"
"Benerin kalo gue salah. Kesimpulannya... kalau suami lo selingkuh, lo masih bisa terima?"
"Demi keluarga, iya dan dia harus bisa berhenti selingkuh."
"Tapi kalau dia berpoligami karena menghindari zinah, lo nggak bisa terima?"
"Apa pun alasannya, gue nggak akan ijinin suami gue kawin lagi!"
"Phew... untung gue bukan suami lo."
"Salah lo! Untung gue bukan istri elo!"
"Sama aja kan artinya?"
"Maksud eloooooh?"

Monday, November 27, 2006

Kegelisahan Kita

Belakangan di salah satu milis periklanan terkemuka sedang marak dibicarakan mengenai nasib industri periklanan yang sedang morat-marit. Saking parahnya kondisi yang terjadi, pengibaratan yang digunakan pun cukup dramatis. Kreatifitas dinilai lebih rendah dari pelacur. Kenapa? Karena pelacur saja dibayar kalau mau 'dipakai'. Nah kreatifitas ada yang ditawarkan Rp 0,- asalkan biro iklan yang bersangkutan bisa memegang belanja media dari kampanye klien. Miris ya.

Menyedihkan memang. Sad but true kata orang londo. Tapi ini memang terjadi. Salah siapa? Kalau saya sih lebih memilih menyalahkan diri sendiri. Persaingan di industri ini memang berjalan tidak sehat. Dulu kita terlalu terbuai dengan kemewahan komisi belanja media klien. Kondisi ini diperparah dengan mentalitas oportunis dari biro iklan sendiri. Saat itu keuntungan yang diperoleh biro iklan luar biasa besarnya. Dari total belanja media klien, biro iklan mendapat potongan sebesar 20%. Keuntungan ini masih ditambah dengan komisi yang rata-rata berkisar 10-12,5%. Plus di beberapa biro iklan 'nakal', bonus spot dari media masih 'diembat' juga untuk kemudian dijual ke klien lain. Sedap kan? Nggak heran kalau saat itu dunia iklan terlihat glamorous dan penuh harapan.

Tapi namanya klien ya nggak bego. Pelan-pelan mereka mulai mengerti akan 'cipoa-cipoa' ala biro iklan. Mereka mulai melakukan perekrutan SDM dari industri iklan sendiri. Hasilnya, sebagian kerjaan mulai ditangani sendiri oleh in-house agency. Lebih murah, lebih cepat dan lebih mudah. Keuntungan ini makin bertambah dengan berkembangnya spesialis media. Para pemilik modal di nagri sono (baca: world wide; red.) melakukan diversifikasi usaha dengan memecah agency menjadi dua: kreatif dan media. Walhasil masing-masing pihak harus bisa menjadi profit center. Kita (baca: orang kreatif) yang dulu terbiasa hidup mewah dari komisi media pun kelabakan. Salah satu periuk nasi terbesar kita 'dirampas'. Persaingan makin merajalela. Aturan main yang nggak jelas bikin suasana makin kacau balau. Demi menjaga kelangsungan 'dapur ngebul' terjadilah perang diskon komisi belanja media. Yang kemudian berujung pada kompetisi yang tidak sehat. Adalah salah satu biro iklan yang berani menawarkan komisi belanja media sebesar -2%. Berarti, biro iklan tersebut memberi 'bunga' atas belanja iklan klien. Masuk akal? Entah lah. Qeqeqe.

Bagaimana mensiasatinya? Seperti kutipan dalam film favorit saya "Dangerous Mind", hidup ini adalah pilihan. Kita pun dihadapkan pada suatu masalah besar. Kita bisa memilih untuk menjadi bagian dari masalah, atau menjadi bagian dari solusi. Semudah itu? Ya nggak lah. Banyak sekali faktor-faktor penyerta yang menanti dibelakangnya. Ibarat gunung es, apa yang saya ungkapkan di atas hanyalah sebagian kecil dari 'puncak' masalah. Masalah terbesar terpendam di bawah permukaan air laut.

Banyak jalan menuju Roma. Begitu pula solusi yang bisa menjadi jalan keluar dari masalah ini. Secara kita adalah orang yang terlibat dalam jasa kreativitas, semestinya lah kita berusaha mencari upaya untuk menyelamatkan 'periuk nasi' kita yang terancam ini. Segala macam cara patut untuk dicoba. Untuk menemukan satu buah lampu yang berhasil menyala, Thomas A. Edison saja harus melalui 2.000 lampu yang gagal. Tidak ada pencapaian manis tanpa perjuangan. Untill then, I think I still have 1.997 bulbs to go before I can light one on. ABCD, aduh bok... chape' deeeeh.

Monday, October 02, 2006

“Ngapain puasa?” Tanya anak pada bapaknya.



Masih ingat lagu Bimbo yang populer di setiap bulan Ramadhan?

Ada anak bertanya pada bapaknya.
Buat apa berlapar-lapar puasa?


Jawaban yang umum ditemui untuk pertanyaan ini biasanya “supaya kita merasakan penderitaan kaum dhuafa”. Sesederhana itukah? Tentu. Wong yang nanya juga anak-anak. Mereka belum perlu jawaban yang filosofis dan dalam. Biarkan mereka merasa bangga ketika mampu menahan lapar dan haus dari Subuh hingga Magrib. Biarkan mereka berkata lantang pada teman-temannya, “Saya kuat berpuasa”.

Kebanggaan bisa melakukan ibadah yang cukup berat ini mungkin bisa jadi pemicu anak-anak untuk bisa terus mendisiplinkan diri untuk menjaga puasa mereka pol di bulan Ramadhan. Tapi alangkah sedihnya ketika kebanggaan ini juga hinggap pada orang dewasa. Ketika mereka dengan bangganya menceritakan puasa mereka full nggak ada yang bolong. Ketika dengan bangga mereka menuturkan kedisiplinan mereka bertarawih setiap malam, bertadarus, berdzikir. Ketika dengan sombongnya mereka bisa mencap buruk orang yang tidak berpuasa. Apakah selama ini mereka masih percaya bahwa puasa itu bertujuan supaya kita bisa merasakan penderitaan fakir miskin? Alangkah perihnya.

Kalau hanya untuk merasakan penderitaan fakir miskin, buat apa kita bersahur di pagi buta? Untuk apa kita harus menjaga omongan, pikiran dan perasaan? Untuk apa kita harus merelakan waktu istirahat di malam hari demi ibadah?


Kemarin malam dari TOA mesjid terdengar teguran keras pengurus bagi anak-anak. “Yang cuma mau main-main, pulang saja!”. Astaghfirullah... hati saya menangis. Mereka yang seharusnya dekat dengan sang Khalik, yang selalu tak henti melafazkan astma-Nya... kenapa mereka justru menafikan hakikat ciptaanNya? Adalah sunatullah bahwa anak kecil senang bermain. Rasul pun tak berang ditunggangi cucunya saat bersujud dalam shalatnya. Kenapa harus menjauhkan anak-anak dari mesjid? Bagaimana jika anak-anak tersebut enggan mengunjungi mesjid hingga mereka remaja bahkan dewasa? Kenapa tidak dibiarkan saja mereka pada kodratnya? Daripada bermain di tempat nggak jelas, jauh lebih baik jika mereka bermain di mesjid.


Ada satu sifat yang sangat dibenci Allah. Bahkan sebesar biji zahrah pun sifat ini ada di hati manusia, tidak akan terbuka pintu surga. Sifat ini yang selayaknya berusaha kita bunuh dengan cara berpuasa. Menahan lapar dan haus, itu cuma kulit semata. Dalami makna lapar dan haus itu. Selami keindahannya. Niscaya kelemahan fisik yang kita rasakan bisa menjadi sumber kekuatan untuk menghancurkan sifat terkutuk itu: SOMBONG. Banyak ibadah bukan berarti kita jadih lebih dekat dengan-Nya.
Semoga Ramadhan kita kali ini bisa menjadikan kita muslim/muslimah yang khaffah. Amin.

Tuesday, September 19, 2006

................. (speechless)

Beberapa tahun terakhir benar-benar sebuah perjuangan yang berat buat saya. Ketika keinginan untuk menghasilkan karya dengan cara benar itu muncul, saya telah terseret arus yang bernama "comfort zone" selama lebih dari 7 tahun. Ketika apa yang dulu jadi harapan, sebagian sudah bisa diraih, tiba-tiba kegelisahan itu muncul. Kegelisahan untuk bisa memberikan manfaat untuk orang-orang di sekitar saya dan juga buat saya sendiri.

Kurang lebih 3 tahun yang lalu, saat bergabung dengan sebuah milis, turning point dalam hidup saya terjadi. Yang semula melakukan sesuatu hanya "for the sake of every body's happy", saya mencoba untuk memberi yang lebih baik. Tanpa mentor, tanpa guru, tanpa suhu. Hanya saya, buku dan teman-teman. Perih, sedih, putus asa, kekecewaan sepertinya menjadi keterbiasaan dalam hidup saya. Terlebih ketika setahun terakhir semakin banyak orang yang menitipkan harapan mereka di pundak saya. Beban ini jadi semakin membebani. Lelah badan, lelah hati bahkan lelah otak... semua sudah saya rasakan.

Saat lorong gelap ini seolah-olah tak berujung, tiba-tiba muncul secercah sinar. Meski baru sedikit, tapi hangatnya bisa membangkitkan semangat. Semangat yang semoga bisa menjadi penambah tenaga untuk terus berjalan dengan langkah yang lebih baik.

Buat teman-teman yang sudah setia menampar saya selama ini baik sengaja maupun tidak (guys/gals, you know who you are) saya kehabisan aksara. Makna kalian begitu tinggi. Saya cuma bisa berterima kasih dan mendoakan yang terbaik untuk kalian dan kita semua.


1 tahun 4 bulan
1 finalis daun muda (inno & goho, u did a great job)
2 finalis tvc psa (team SAC + 25 frames... makasih banget ya)
masih belum cukup layak naik pentas
tapi lebih dari cukup membuat semua jerih payah itu pantas
let's make it better

Saturday, September 09, 2006

Laki-laki Memang Kompak

Dikutip dari blognya Budiman Hakim. Luv it.


Terdapat artikel di salah satu surat kabar atau majalah, terasa lucu dan menarik artikel ini. Isinya sebagai berikut :

"Suatu malam, seorang wanita tidak pulang ke rumahnya. Keesokan harinya, dia memberitahu suaminya, kalau dia menginap di rumah teman wanitanya. Suaminya menelepon 10 orang teman istrinya yang paling akrab, dan hasilnya tidak ada seorang pun yang mengetahui akan hal ini. Sebaliknya, suatu malam seorang pria tidak pulang ke rumahnya. Keesokan harinya, dia memberitahu istrinya, kalau dia menginap di rumah teman prianya. Istrinya menelepon 10 orang teman suaminya yang paling akrab, dan hasilnya : 8 orang diantaranya memastikan kalau suaminya menginap di rumah mereka, dan......... ......... 2 orang lainnya bahkan mengatakan bahwa suaminya MASIH berada di rumah mereka!"

Karena merasa artikel itu menarik, seorang suami memanggil istrinya untuk membaca artikel tersebut. Sangat tidak disangka istrinya malah ingin mencoba apakah memang benar seperti yang ditulis di artikel ini. Suaminya menasehatinya supaya JANGAN MENCOBA, tapi tidak berguna.

Istrinya mengangkat telepon dan menghubungi satu persatu teman akrab suaminya, menanyakan apakah suaminya bersama mereka. Dan hasilnya tentu saja..... Apa yang ditulis dalam artikel ternyata berlaku di seluruh pelosok dunia! Yang parahnya, ada salah satu teman suaminya malah mengatakan suaminya mabuk dan sampai sekarang masih tidur di dalam rumahnya. Dan malah bertanya kepada istrinya apakah perlu membangunkan suaminya untuk mendengar telepon? Istrinya kaget dan tidak mau membuat malu teman suaminya dan berkata sudahlah gak apa apa.

Begitu istrinya menutup telepon, handphone suaminya langsung berdering. Begitu suaminya menjawab telepon, teman suaminya berkata :

'Dimana kamu? Cepat pulang ke rumah!Istrimu mencari-cari kamu dari tadi, saya bilangkamu mabuk di rumah saya. Oh ya! jangan lupa minum sedikit bir sebelum pulang!"

Hahahahahahaha laki-laki memang kompak. Keep it the spririt guys!

Thursday, August 24, 2006

Transaksi Dalam Hubungan

Ya. Saya sangat percaya bahwa dalam setiap bentuk hubungan, selalu berdasarkan transaksi. Ada take and give di situ, berapa pun kadarnya... bagaimana pun bentuknya. Saya percaya bahwa hubungan akan sangat sulit berjalan jika satu pihak cuma sibuk memberi sementara pihak lainnya terus saja menerima.

Hubungan orang tua dan anak pun tak terlepas dari sifat transaksi ini. Meskipun pemberian orang tua pada anak tulus, pada akhirnya orang tua akan tetap menjadi orang tua. Mengharapkan anak untuk mendengarkan dan menuruti nasihat orang tua.

Hubungan pertemanan? Lebih-lebih lagi. Setulus-tulusnya kita membantu teman, biasanya ada pengharapan yang menyertainya. Minimal kita akan merasa senang jika yang kita bantu bisa mengungkapkan rasa terimakasihnya.

Mungkinkah pandangan saya ini sangat terpengaruhi oleh paham materialistik? Saya sendiri nggak gitu ngerti. Tapi yang jelas saya sangat percaya, saat dalam sebuah hubungan kita tidak melihat lagi adanya manfaat yang bisa kita peroleh itu tandanya hubungan tersebut sudah kehilangan maknanya. Dan ketika pengharapan atas adanya manfaat itu muncul, kita sudah melakukan "transaksi" dalam sebuah hubungan.

Monday, July 31, 2006

Diam = Emas ?

Kamu setuju dengan pendapat itu bahwa diam adalah emas? Saya sangat setuju. Tentu saja kalau kita perlu bicara, kita tetap harus angkat suara. Tapi untuk situasi-situasi yang belum pasti, saya cenderung untuk memilih diam.

Beberapa hari ini, kejadian bertolakbelakang adalah hal yang saya alami. Saya berada pada titik di mana ke-diam-an justru bukan lagi emas. Zahra Syamila, anak bungsu saya, sudah 3 hari melakukan gerakan tutup mulut. Tak lagi banyak celoteh keluar dari mulut mungilnya yang terjepit dua pipi gembil. Tak ada lagi nyanyian-nyanyian sumbang tapi selalu terdengar merdu untuk saya. Tak ada lagi teriakan-teriakan penuh kekesalan saat dia jadi korban kegemasan saya. Dia bahkan berhenti melakukan kegiatan favoritnya: ngemil.

Jamur mulut. Begitu kata dokter. Saya sendiri nggak gitu paham. Tapi kondisinya cukup mengenaskan. Sepertiga bagian bawah lidah Zahra, kulitnya terkelupas. Seperti melepuh. Akibatnya, minumpun menjadi siksaan untuknya. Perut endutnya yang hampir selalu keras, kini mengempis. Yang lebih menyiksa adalah saya kehilangan keceriaannya yang selalu menjadi penyemangat saat saya mau berangkat kerja. Keceriaan yang juga jadi pendorong kangen untuk bisa cepat-cepat pulang ke rumah. Keceriaan yang bisa jadi es pendingin panasnya kekesalan saat saya dan istri bertikai.

Di awal minggu ini, saya kehilangan separuh semangat hidup.

Hiks...

(Cepat sembuh ya nak.)