Pages

Monday, November 27, 2006

Kegelisahan Kita

Belakangan di salah satu milis periklanan terkemuka sedang marak dibicarakan mengenai nasib industri periklanan yang sedang morat-marit. Saking parahnya kondisi yang terjadi, pengibaratan yang digunakan pun cukup dramatis. Kreatifitas dinilai lebih rendah dari pelacur. Kenapa? Karena pelacur saja dibayar kalau mau 'dipakai'. Nah kreatifitas ada yang ditawarkan Rp 0,- asalkan biro iklan yang bersangkutan bisa memegang belanja media dari kampanye klien. Miris ya.

Menyedihkan memang. Sad but true kata orang londo. Tapi ini memang terjadi. Salah siapa? Kalau saya sih lebih memilih menyalahkan diri sendiri. Persaingan di industri ini memang berjalan tidak sehat. Dulu kita terlalu terbuai dengan kemewahan komisi belanja media klien. Kondisi ini diperparah dengan mentalitas oportunis dari biro iklan sendiri. Saat itu keuntungan yang diperoleh biro iklan luar biasa besarnya. Dari total belanja media klien, biro iklan mendapat potongan sebesar 20%. Keuntungan ini masih ditambah dengan komisi yang rata-rata berkisar 10-12,5%. Plus di beberapa biro iklan 'nakal', bonus spot dari media masih 'diembat' juga untuk kemudian dijual ke klien lain. Sedap kan? Nggak heran kalau saat itu dunia iklan terlihat glamorous dan penuh harapan.

Tapi namanya klien ya nggak bego. Pelan-pelan mereka mulai mengerti akan 'cipoa-cipoa' ala biro iklan. Mereka mulai melakukan perekrutan SDM dari industri iklan sendiri. Hasilnya, sebagian kerjaan mulai ditangani sendiri oleh in-house agency. Lebih murah, lebih cepat dan lebih mudah. Keuntungan ini makin bertambah dengan berkembangnya spesialis media. Para pemilik modal di nagri sono (baca: world wide; red.) melakukan diversifikasi usaha dengan memecah agency menjadi dua: kreatif dan media. Walhasil masing-masing pihak harus bisa menjadi profit center. Kita (baca: orang kreatif) yang dulu terbiasa hidup mewah dari komisi media pun kelabakan. Salah satu periuk nasi terbesar kita 'dirampas'. Persaingan makin merajalela. Aturan main yang nggak jelas bikin suasana makin kacau balau. Demi menjaga kelangsungan 'dapur ngebul' terjadilah perang diskon komisi belanja media. Yang kemudian berujung pada kompetisi yang tidak sehat. Adalah salah satu biro iklan yang berani menawarkan komisi belanja media sebesar -2%. Berarti, biro iklan tersebut memberi 'bunga' atas belanja iklan klien. Masuk akal? Entah lah. Qeqeqe.

Bagaimana mensiasatinya? Seperti kutipan dalam film favorit saya "Dangerous Mind", hidup ini adalah pilihan. Kita pun dihadapkan pada suatu masalah besar. Kita bisa memilih untuk menjadi bagian dari masalah, atau menjadi bagian dari solusi. Semudah itu? Ya nggak lah. Banyak sekali faktor-faktor penyerta yang menanti dibelakangnya. Ibarat gunung es, apa yang saya ungkapkan di atas hanyalah sebagian kecil dari 'puncak' masalah. Masalah terbesar terpendam di bawah permukaan air laut.

Banyak jalan menuju Roma. Begitu pula solusi yang bisa menjadi jalan keluar dari masalah ini. Secara kita adalah orang yang terlibat dalam jasa kreativitas, semestinya lah kita berusaha mencari upaya untuk menyelamatkan 'periuk nasi' kita yang terancam ini. Segala macam cara patut untuk dicoba. Untuk menemukan satu buah lampu yang berhasil menyala, Thomas A. Edison saja harus melalui 2.000 lampu yang gagal. Tidak ada pencapaian manis tanpa perjuangan. Untill then, I think I still have 1.997 bulbs to go before I can light one on. ABCD, aduh bok... chape' deeeeh.

No comments: