Pages

Tuesday, June 19, 2007

Saya Anaknya Si Anu


(Image boleh minjem dari www.donnabellas.com)


Meski bukan termasuk orang yang fanatis dengan idealisme tentang kemandirian dan ke-menjadi-diri-sendiri-an (nah lho, bahasa apa pula ini), bisa dibilang saya cukup anti dengan pola KKN. Sebisa mungkin saya nggak pernah bawa nama orang tua dalam apa pun urusan. Selain bapak saya bukanlah petinggi atau orang penting, saya juga nggak pernah mau dapat cap sebagai "si X yang anaknya bapak Y".

Nama aja saya nggak bawa nama keturunan. Budi Santoso, titik. Bapak saya bukan Santoso, bukan pula bernama-belakang Santoso. Itu nama pasaran yang independent dan tidak terkait dalam strata, agama, ras, keturunan atau unsur apa pun yang bisa mempengaruhi penilaian obyektif orang lain atas saya.

Bukannya saya nggak bangga menjadi anaknya bapak saya. Bangga saya nggak bisa diukur dari ritualitas pasang nama belakang. Bangga saya gak terdeskripsikan. Saking besarnya sampai saya sampai sekarang belum pernah punya kekuatan untuk bilang ke bapak saya, "Dad, I'm proud to be your son" --> ngeles mode is on, padahal sih udah kemakan budaya gengsi yang selalu memaksa agar saya bersikap jaim; sebuah budaya (atau habbit ya) yang gak penting dan memalukan.

Terakhir kali dan pertamakalinya saya memanfaatkan nama bapak saya adalah saat saya pernah mencoba melamar kerja ke sebuah perusahaan yang kepemilikannya 100% punya negara (alias pegawai negeri hahahaha). Saat itu saja saya sudah cukup malu untuk mengakui bahwa saya melakukan praktik nepotisme. Tapi dalam proses testingnya saat saya ngobrol dengan sesama calon pegawai, ternyata semuanya memang masuk lewat jalur khusus hahaha. Typical!

Semenjak saat itu saya memutuskan untuk tidak lagi memanfaatkan koneksi orang tua. Saya pun lepas dari institusi kepemerintahan tersebut dan kembali terjebak dalam industri dinamis (yang oleh sebagian orang disebut sebagai industri tai kucing; pardon my language) bernama ADVERTISING. Ya, saya kembali ke industri ini dengan keinginan bisa lepas dari ketergantungan pada orang tua dan bisa menunjukkan bahwa saya juga mampu untuk berdikari (hahahaha kapan terakhir kali istilah ini dipakai orang ya?). Sampai akhirnya sebuah peristiwa memaksa saya kembali menelan ludah.

Sekitar sebulan lalu saya terpaksa harus berurusan dengan aparat penegak hukum untuk mengadukan sebuah kejadian. Tapi memang sistem hukum kita agak ajaib, "lapor hilang ayam malah hilang kambing" terjadi pada diri saya. Status sebagai korban, eh malah dipersulit. Maunya ngikutin prosedur malah jadi babak belur. Sudah jatuh, ketimpa tangga + kaleng cat + tukang catnya sekalian. Mau tak mau telepon sakti pun berdering kembali. "Hubungin om X aja, atau om Y barangkali mereka bisa bantu", begitu kata orang tua saya. Dan saya pun melakukannya. "Siang Om, saya A anaknya pak B, gini om... mau minta tolong....bla bla bla bla...". Anehnya, lewat dua kali telepon dan beberapa kali SMS, urusan saya jadi lancar.

Dueeeng.

Malamnya saya pun merenung, mau sampai kapan kaya' gini ya? Apa saya nggak bisa lepas 100% dari nama orang tua? Saat godaan itu demikian besar, saya pun jadi maklum kenapa anak-anak petinggi masih suka membawa nama orang tuanya. Bapak saya aja yang cuma pensiunan pegawai negeri golongan III-A bisa punya jalur yang cukup membantu, gimana yang Eselon? Sepertinya saya harus nambahin poin dalam surat wasiat saya nantinya yang bunyinya kurang lebih seperti ini:
"Anakku, saat kepepet, manfaatkanlah segala macam bantuan yang bisa kau peroleh. Nama bapak pun boleh kamu pakai". Hehehe.... moga-moga saat itu nama saya bisa cukup punya pengaruh. Haduh biyuuuung.


Terinspirasi dari tulisan Diki Satya
dan kejadian buruk yang baru aja lewat.

No comments: