Pages

Monday, August 17, 2015

Yogya vs Moge

Akhir pekan ini, dunia sosmed ramai oleh aksi Elanto, seorang warga Yogya yang dengan berani menghentikan jalannya konvoi rombongan moge. Semua pasti sudah mengetahui kejadiannya, dan apa penyebabnya. Berbagai media mengangkat hal tersebut, ditambah penyebaran yang cepat melalui sosmed. Saya juga tidak terlalu ingin membahas "apa"nya. Saya lebih tertarik pada "mengapa"-nya.

Pilih lah random beberapa orang di jalanan. Tanyakan pada mereka, apa kesan terhadap anak moge? Saya yakin mayoritas akan memberi jawaban yang konotasinya negatif. Songong lah; seenaknya sendiri lah; merasa orang kaya lah (ini topik klasik yang nggak habis-habis -- kecemburuan sosial) dan banyak lagi probabilitas jawaban lainnya.



Sekarang tanyakan pada anak moge, kenapa mereka begitu. Saya nggak tahu jawabannya apa. Belum pernah nanya juga soalnya. Tapi kalau ditanya, apakah mereka merasa arogan? Jawabannya pasti mayoritas akan bilang TIDAK. Mereka mengakui memang ada yang arogan, tapi... nah ini yang menarik; mereka menjelaskan hal ini tidak seberapa jumlahnya dibanding pemotor kecil yang brutal dalam berkendara. Ini saya dapat dari sebuah diskusi dalam forum tertutup di grup sosmed.

Benar memang. Kebrutalan pemotor cc kecil di ibu kota Jakarta memang sudah melebih ambang batas toleransi. Kelakuan mereka luar biasa ignorant-nya (kalau tega, biasanya menggunakan kosa kata GOBLOG). Iya juga sih. Saya sendiri sebagai sesama pemotor sering jadi korban ke-ignorant-nya pemotor Jakarta. Bahkan aparat seperti sudah lepas tangan. Sering sekali terjadi pembiaran terhadap pelanggaran lalin oleh pemotor. Tragis.

Di sini kelucuan terjadi. Sekelompok pemotor yang mostly dari kalangan strata atas (harga moge jarang di bawah 100 juta rupiah) "cemburu" dengan ketidak-aturan pemotor strata menengah; dan kemudian menjadikannya justifikasi untuk melakukan tindakan yang notabene sejenis, namun berlindung di belakang aparat. Ya. Mereka "membayar" jasa patwal agar bisa mendapat privilege di jalan raya. Ironis yah? Mencela sebuah perbuatan, untuk kemudian melakukan perbuatan yang dicela. Memang bukan pelanggaran hukum per se sebagaimana yang dilakukan pemotor kecil. Tapi apa bedanya? Pelanggaran yah pelanggaran. Menyuruh orang lain minggir agar kalian bisa lewat dengan leluasa, itu sudah melanggar.

Attitude/fenomena ini ditangkap oleh umum sebagai sebuah bentuk arogansi. Sayangnya tidak disadari oleh pelaku (pemoge). Wajar. Bahkan orang paling sombong sedunia pun mungkin tidak akan pernah mengaku kalau dia sombong. Selalu ada excuse di balik tindakannya. Kesombongan itu biasanya memang dirasakan oleh orang lain di sekitar. Sensitivitas untuk bisa menyadari kesombongan diri ini yang sepertinya kurang dimiliki oleh pemoge.

Arogansi pemoge oleh mas Elanto sudah dirasakan bukan kali ini saja. Sudah sejak 2014. Bahkan dalam melakukan aksinya kali kemarin pun, dia sudah "berkoordinasi" melalui twitter dengan pihak kepolisian Yogya. Dan (lucunya lagi) mendapat ijin. "Jika dianggap melanggar, silakan ditegur" kira-kira begitu jawaban yang didapat Elanto. Jadi apakah wajar jika dia menghentikan konvoi moge itu? Sangat wajar. Jelas-jelas ada pelanggaran lalin di situ. Lampu merah diterobos. Bagaimana dengan sudut pandang para pemoge? Cari sensasi. Sirik. Bodoh. Banyak lagi atribut negatif disematkan buat Elanto. Tidak satupun ada yang mencoba mencari tahu, kenapa Elanto berbuat itu. Tidak satupun yang menyadari bahwa arogansi yang tidak mereka sadari itu dan sudah dilakukan berulang-ulang, mencapai titik kulminasinya. Elanto menjadi perwakilan suara rakyat yang merasa tertindas dan tidak bisa berbuat apa-apa karena takut pada aparat.

Boleh lah segala macam pembenaran disampaikan. Sudah mendapat ijin lah. Sudah melapor lah. Lah wong penjelasan dari kehumasan Polda tentang pasal dimana "memberikan keistimewaan" boleh diberikan dalam kondisi tertentu, justru menuai serangan balik karena bagian penjelasan dalam undang-undang untuk pasal termaksud lebih dimaksudkan ke kondisi darurat. Ataukah mungkin menurut kepolisian, konvoi moge ini termasuk darurat? Entah lah.

Perkembangan kasus melebar. Dari semula Elanto vs kepolisian, berkembang jadi massa vs moge. Lantas siapa yang salah? Tidak perlu lagi mencari siapa yang salah. Kondisi ini sudah cukup complicated untuk diikuti. Tapi sebaiknya, kearifan di jalan raya itu perlu diterapkan. Anak moge seharusnya sadar bahwa mendapat pengawalan bukan berarti serta-merta mendapat kekhususan untuk melanggar lalin. Ada sebagian kecil anak moge yang tergabung dalam sebuah kelompok bernama Black Angel, cukup anti dengan bentuk pengawalan ini. Mereka berpendapat, kesetaraan itu adalah mutlak. Semua pengguna jalan tidak perlu mendapat keistimewaan. Karenanya, mereka dalam touring tidak pernah menggunakan jasa pengawalan itu.

Kembali ke kejadian di Yogya. Di sisi lain, pasti akan ada keluhan dari pemoge. Mana mungkin mengkoordinir ribuan motor tanpa bantuan pengawalan? Saya akan balik nanya, Anda mau dikawal atau minta diberi keistimewaan? Dikawal bisa berarti dijaga. Dijaga supaya tertib. Dijaga supaya tidak mengganggu. "Lho itu kan keputusan dari kepolisian, kami cuma ikut". Di sini dibutuhkan kesantunan sosial Anda. Mau ndak minta pengawalan tanpa harus mengganggu yang lain? "Aaaah kita aja diributin, motor kecil dibiarin". Hehehe, Anda mau disamakan stratanya dengan pemotor yang mayoritas kurang intelek itu? Terserah sih.

Di sini saya cukup yakin bahwa perkembangan kasus-nya tidak akan ke mana-mana. Tapi ingatlah bahwa ini sudah menjadi satu titik permulaan. Permulaan yang kalau dibiarkan dan tidak terselesaikan, bisa menjadi konflik horisontal antara massa dengan pemoge. Jika itu terjadi kasihan anak-anak moge yang santun seperti Black Angel ini. Keresahan mereka akibat stereotyping yang terjadi sudah cukup membatasi gerak-gerik mereka. Mereka semacam terlabel bahwa anak moge itu arogan. Padahal jika kita lihat lebih dalam, anggota BA ini sangat santun lho. Sayangnya jumlah mereka sedikit. Sama juga dengan pemotor kecil yang berusaha disiplin; jumlahnya sangat kecil.

So, pilihan ada di tangan masing-masing. Mau terus begini, atau berubah. Berharap pihak kepolisian yang berubah? Hm.... ini pertanyaan yang bahkan peramal pun saya rasa sulit sekali untuk menjawab. Berhenti membanding-bandingkan dan cobalah mendengar. Let's share the road and make riding/driving more convenience to all of us. Apa pun kendaraannya.


Foto boleh nyomot dari sorotjogja.com.

No comments: