Pages

Monday, February 28, 2005

Sudikah Puan



saat jutaan buih rasa
menggulung hamba dalam kerinduan
menghempas segala
entah selaksa
entah sedepa
entah hingga hilir
tiada tergenggam hamba meraih
tiada terucap hamba berujar
saat ratusan buih rasa
memaksa lorong leher
meneguk cinta yang tak terbendung

sudikah puan
menghancurkan palang benci
agar menetes hangat kasih
biar badai ini bisa mereda
galau dan khawatir
pergi melipir tersisir
sepatutnya pun menghilang
tenggelam di dasar
muara cinta yang terbuang

Saturday, February 26, 2005

Nak, maafkan bapak!

Mungkin cuma itu yang bisa saya katakan saat anak-anak saya dicecar pertanyaan "Emang di rumah nggak diajarin shalat?". Saya memang tak pernah punya rasional yang kuat atas pertanyaan seperti itu. Sama dengan diamnya saya saat teman-teman bertanya "Kok lu nggak shalat sih?".

Mungkin alam pikiran saya berbeda dengan pandangan dan pemahaman kolektif masyarakat. Pemahaman saya pun mungkin bisa dianggap sebagai "kekufuran". Alasan saya belum (belum lho, bukan tidak) mau mengajarkan shalat semata-mata karena saya ingin merubah interpretasi anak-anak saya terhadap esensi keberagamaan.

Dari dulu saya selalu dicekoki oleh paradigma bahwa orang yang saleh itu adalah mereka yang taat menjalankan perintah Allah. Bahwa mereka yang ingkar padaNya akan mendapat siksa. Akhirnya Allah menjadi sosok yang begitu menakutkan. Semua beribadah karena tidak mau masuk neraka. Sebuah pemahaman yang justru menjauhkan manusia dari indahnya kemaha-cintaan Allah terhadap manusia.

"Takut jangan sama setan, tapi sama Allah!". Entah sudah berapa ribu kali saya mendengar statement itu. Saya bosan! Saya jenuh! Saya capek! Saya tak mau anak-anak saya terjebak dengan semua perasaan negatif yang pernah saya rasakan. Saya mau anak-anak saya mencintai Tuhannya. Itu sebabnya saya lebih suka mengajarkan dan memberi contoh pada mereka, bagaimana menjalani hidup ini dalam ke-Islam-an. Bukan sebagai penganut agama Islam.

Saya lebih suka melihat anak-anak saya nantinya mampu mengikhlaskan sebagian besar rizki mereka untuk membantu kaum duafa (kaum yang kurang mampu; red.) ketimbang mereka taat beribadah dan hanya menyisihkan 2,5% dari harta yang dititipkan Allah pada mereka. Saya mau mereka sadar sepenuhnya bahwa apa pun yang mereka dapatkan semata-mata adalah amanah, bukan pemberian untuk dimiliki. Saya mau mereka mencintai sesamanya karena mereka sadar bahwa setiap manusia adalah pembawa ruhNya yang ditiupkan saat kita semua masih berupa jabang bayi berusia 120 hari. Saya mau mereka mengerjakan ibadah karena semata-mata atas dasar kecintaan padaNya dan bukan ketakutan. Saya mau mereka begini, begitu, begene, begono.

"Gila lu Cin. Lu mau anak lu jadi apa?". Hehehehe... sebuah pertanyaan tolol. Karena orang tua tidak punya hak atas anak mereka! Anak sama statusnya dengan orang tua: mahluk. Semuanya sudah diatur.

"Sebuah pandangan pesimis tuh, jadi menurut lu manusia nggak perlu berikhtiar dan berusaha?". Lho... memangnya saya pernah bilang begitu? Apakah usaha untuk mencintai sang Maha Pencipta bukan usaha? Apakah berusaha untuk menyatukan keinginan manusia dengan keinginanNya bukan usaha?

"Mau jadi apa agama Islam nantinya kalau semua orang seperti elo Cin?". Entah lah. Siapa yang tahu? Apakah jika suatu saat orang tidak lagi melakukan ibadah tapi ternyata berhenti melakukan kemaksiatan merupakan hal yang buruk? Apakah jika satu saat orang mencintai sesama sebesar cinta pada diri sendiri itu kemunduran?

Saya tidak pernah mengatakan hukum dan aturan agama itu adalah hal yang buruk. Bagaimana bisa saya bilang itu buruk sementara yang menetapkan aturan itu adalah Dia sang Maha Pengatur? Saya cuma berusaha mencari makna lebih jauh dari aturan-aturan keberagamaan itu. Saya pernah mengalami shalat tarawih sendirian dimana tidak ada satu rakaat pun lewat tanpa tetesan air mata penyesalan atas segala kesalahan, khilaf dan dosa yang saya lakukan. Tapi setelah shalat itu selesai, begitu pula pikiran saya akan kehidupan setelah hidup ini. Saya kembali terperangkan dalam dimensi semu bernama kehidupan duniawi. Tapi kenapa setelah tetek bengek ritual itu saya hindari, saya merasa jadi lebih dekat denganNya? Kufur kah saya?

Sebelum Anda memberikan judgement menjawab pertanyaan di atas, saya cuma mau membawa Anda ke tatanan logika. Innallaha wa'malaaikatahu yushollunna ala'nnabiih kurang lebih artinya (menurut terjemahan di Qur'an) adalah sebagai berikut: Sesungguhnya Allah beserta malaikat bershalawat kepada nabi (Rasulullah SAW). Wait... wait... emang ada kata shalawat di situ? Shollu... sholli... itu adalah bentuk kata kerja lain dari shalat. Kenapa diterjemahkan sebagai shalawat? Apa karena kita takut menganggap Allah menyembah Rasul (dengan asumsi shalat itu adalah seperti apa yang diyakin oleh awam)? Apa tidak mungkin bahwa shalat itu memiliki bentuk lain diluar takbir, ruku', sujud, tahiyat? Rasul memang pernah berkata "Shalat lah engkau seperti aku shalat". Apa iya... saat berkata seperti itu, terminologi yang digunakan rasul adalah shalat berupa ritual berdiri-jongkok-sujud? Terus seperti apa shalat itu? Wallahu alam bissawab.

Keterangan dalam Qur'an terbagi dalam dua jenis. Ada yang jelas maknanya, ada yang kabur. Untuk yang jelas maknanya, gunakan akal. Untuk yang kabur, gunakan rasa. Saya memilih menggunakan rasa. Murtadkah saya? Kafirkah saya? Yang jelas sahabat terpercaya Rasul, syaidina Ali, pernah berkata "Ada 3 kantung ilmu yang Rasulullah titipkan padaku. Hanya 2 kantung yang aku buka, jika satu kantung tertutup itu aku buka maka halallah darahku". Maksudnya apa? Mboh... kita semua kan sudah dewasa. Pasti bisa mereka-reka, menduga-duga, menganalisa dan berkesimpulan secara sendiri-sendiri.

Mungkin ada baiknya saya tidak cuma meminta maaf pada anak-anak saya, tapi juga pada kalian semua sahabat dan saudara-saudaraku. "Maafkan saya...".

Itu saja.

Thursday, February 24, 2005

Chickenly Poxing

Yup. I just have 'em. The chicken pox. At my age of 33... I finally got 'em, and I got 'em really good.

It started when my lovely cute adoring daughter got infected. (Cape' nih bahasa Inggris... roaming it'l... biayanya mahal). Jadi lah saya juga ketularan. Setelah 15 tahun lalu berhasil selamat (saat 2 adik saya terkena cacar air) kali ini saya dapat giliran.

Saya sudah berusaha untuk menjaga kondisi. Tapi tuntutan kerjaan memaksa saya harus lembur sampai pagi (masuk kantor tanggal 3/2 pulangnya tanggal 4/2 jam 4 dini hari). Siangnya (jam 2-an) lanjut ke Pyramid untuk bikin animatic sampai jam 10 malam. Jam 10 pagi sudah ada di kantor lagi (working at weekend really suck yaaaaa) sampai jam 5 sore. Malamnya, my body started to feel not delicious (nggak enak badan). Minggu pagi, 3 cacar air menampakkan batang hidungnya. Finally... shit happened. Minggu malam masih berjalan lancar. Badan saya masih normal, tidur juga nggak ada masalah.

Senin pagi saya terbangun dengan kondisi badan penuh bercak-bercak merah. "Hm... they're about to grow..." kata saya dalam hati. Senin malam, badan saya mulai ngilu. Semua otot ngilu. Setiap pergerakan merupakan penyiksaan buat saya.

Selasa pagi... para jabang cacar air mulai menunjukkan cairan. Seharian saya cuma bisa berbaring. Rasa malas begitu mengikat membuat semua aktifitas terlihat menjadi begitu tidak menarik. Selasa malam bagaikan ajang penyiksaan. Rasa ngilu di setiap sendi dan otot merupakan penyiksaan yang menjadi rutinitas.

Rabu pagi. The G-Day! Cacar-cacar air itu menjadi matang dan gatal. Mengelus halus area-area yang gatal (nggak boleh digaruk bok! ntar bekas lho...) menjadi kenikmatan duniawi tertinggi saat itu dan mengalahkan semua keinginan-keinginan lain yang biasanya bergejolak di kepala. Gatal itu membuat saya tidak bisa tidur sama sekali! Akhirnya saya minum Panadol Cold & Flu yang mengandung obat tidur. Blas... selamat datang di pulau kapuk!

Kamis pagi. Badan semakin tak nyaman. Setiap senti di bagian wajah, tangan dan badan penuh oleh bentolan-bentolan yang melenting berisi cairan. Dan mereka tak juga menunjukkan tanda-tanda mengering. Kondisi yang sama berlangsung hingga hari Jum'at dan Sabtu. Akhirnya hari Minggu saya ke dokter spesialis kulit. Menurut si dokter, jenis cacar air yang saya derita adalah Universalis. Artinya... cacarnya penuh di seluruh badan (istilahnya kok ya sederhana banget ya... qeqeqeqe). Oleh si dokter dosis obat anti virus saya ditambah. Dari yang tadinya 3x sehari, menjadi 10! 2 kaplet diminum tiap 3 jam. Saya juga dikasi obat tambahan yang saya nggak begitu ngerti fungsinya apa. Oh ya... dokter juga menyuruh saya untuk mandi seperti biasa, tapi pakai sabun & shampoo yang anti bakter.

Ajaib! Baru 2 hari saja, hampir semua cacar air saya mengering. Di hari ke-3 (Rabu), cacar-cacar yang mengering itu mulai rontok satu persatu. Kamis bisa dibilang sebagian besar badan cacar air sudah rontok. Jum'at saya malah sudah ikut acara farewell party-nya client di Upstair PS.

Senin saya sudah masuk kantor. Tapi ternyata kondisi saya masih menimbulkan ketakutan di sebagian orang. Mereka menganggap bahwa kondisi di mana cacar air sudah mulai mengering adalah tahap yang paling rentan dalam penularan. Padahal masa inkubasi cacar air itu berkisar antara 10-14 hari. Jadi saat kita positif terkena cacar air, berarti kita tertular sejak sekitar 10-14 hari sebelumnya. Masa awal si carier menderita cacar. Jadi bukan di masa akhir. Makanya di banyak kasus, orang lain mulai tampak tertular setelah carier mulai menunjukkan tanda kesembuhan. Orang-orang menganggap bahwa masa itu lah masa yang paling rentan dalam penularan padahal sebenarnya penularan telah terjadi 10-14 hari sebelumnya.

Back to my case, akhirnya demi kemaslahatan umat, saya mengalah. Senin malam saya ke dokter untuk minta surat ijin. Senin minggu depan saya baru mulai masuk kantor lagi. Kalau dianggap masih menular, ya... bikin surat ijin dokter lagi qeqeqeqeqe... MAKAN GAJI BUTA!

Menderita cacar air memang benar-benar pengalaman yang tidak menyenangkan!

Friday, February 04, 2005

Feminisme, Keras-Kepalaisme & Debat-Kusirisme

Di blognya Ganesh (anomk.multiply.com) ada artikel singkat. Tulisannya sederhana aja sih kalao menurut saya. Ganesh mencoba melontarkan uneg-uneg serta kegelisahan yang dia rasakan menyangkut fenomena "lesbianisme sosial" yang merupakan penyimpangan perjuangan dari semangat feminisme.

Ajaib! Tulisan singkat dan sederhana ini bisa memancing respons hingga (sampai saat ini, jum'at 4 februari 2005 pukul 18:20) 94 reply-an. Gila!!!! Kalo ini bisa masuk dalam salah satu kategori award periklanan, Ganesh is definitely the winner. Dengan analisa yang tidak belibet (singgle message + simplicity) dia berhasil memancing reaksi yang signifikan. Kalo acara TV, pasti ratingnya sampai 30!

Keseluruhan proses diskusi yang terjadi juga bisa digunakan sebagai penggambaran kondisi periklanan di Indonesia. Saat suatu iklan sedikit konfrontatif dan kontradiktif, para pakar langsung menjadi over-reaktif dan berebutan memberi komentar. Berbagai reaksi bermunculan merepresentasikan karakter penulisnya. Ada yang kalem, gelap mata, fanatik, marah-marah, tersinggung... ada juga yang berusaha ngelawak (tapi kurang sukses kaya'nya).

Oke lah... despite dari diskusi yang berlangsung, topiknya sendiri buat saya cukup menarik. Feminisme. Salah seorang penganut paham tersebut dengan serta merta membela mati-matian prinspi yang dipercayainya, seakan-akan dia sudah menjadi korban dari ketidak-setaraan-gender. Segala macam teori dia lontarkan. Beribu alasan dia kemukakan. Saya sampai kagum dengan keluasan-wawasan yang dia miliki. Luar biasa!

Feminisme. Katanya itu adalah semangan perlawanan akibat kondisi yang membuat wanita berdiri tidak sama tinggi dan duduk lebih rendah. Situasi yang dialami oleh wanita di masa feodal. Wanita tidak punya hak untuk bersuara. Harus ikut suami. Nggak boleh jadi pemimpin. Dilarang tampil ke depan. Dan banyak lagi kondisi yang tidak kondusif yang harus dialami oleh para kaum hawa.

Saya pribadi sangat tidak setuju dengan segala macam bentuk penindasan, apa pun bentuknya! Saya sangat percaya bahwa setiap individu punya hak dan kewajiban yang setara. Karena itu saya menganggap bahwa paham feminisme untuk masa-masa sekarang adalah barang basi! Semua laki-laki kaya'nya udah pada melek kalo wanita juga punya potensi yang sama. Saat kesadaran orang telah muncul maka secara otomatis aplikasi dari semangat feminisme itu juga harus berubah. Bukan lagi melawan, tapi membuktikan!

Coba lihat ilustrasi berikut.

Yani adalah seorang senior eksekutif di perusahaannya. Dia memiliki kompetensi yang sebanding (bahkan sedikit lebih tinggi) ketimbang Dani (senior eksekutif yang lain). Tanpa sadar mereka berkompetisi. Hasilnya positif. Masing-masing selalu menghasilkan yang terbaik. Sampai lah di satu titik dimana manager mereka naik pangkat. Peluang yang bagus buat Yani dan Dani untuk naik pangkat. Sadar akan kapabilitas Yani yang sedikit lebih baik, Dani sedikit minder. Tapi di luar dugaan. Ternyata yang diangkat jadi manager adalah Dani. Alasan bossnya simple. Yani itu pinter tapi cenderung lebih suka kerja sendiri. Sementara Dani berhasil mengembangkan team-nya. Jadi keberhasilan Yani lebih besar merupakan pencapaian individu, sementara pada Dani adalah keberhasilan kolektif.

Singkat kata, singkat cerita (anjrit... bahasanya dong, gak kuwat qeqeqeqe...) prosedur pengangkatan berjalan lancar. Tapi beberapa hari kemudian terdengar kabar burung bahwa terpilihnya Dani adalah atas dasar gender. Boss (yang kebetulan laki-laki) lebih suka penerusnya adalah laki-laki juga. Kantor heboh. Yani sendiri bingung saat dikonfirmasi mengenai isu tersebut. Dia tidak pernah melontarkan gosip tersebut ke khayalak luas. Usut punya usut, ternyata biang keroknya adalah si Tanti... sahabat dekat Yani. Yani merasa telah terjadi ketidaksetaraan gender dalam proses pengangkatan Dani. Duaaaaar.... Yani kaget. Ternyata kebesaran-jiwa dia dalam menerima keputusan boss, disalah-artikan oleh Tanti. Tanti merasa Yani masih dikekang oleh aturan-aturan bahwa wanita harus nerimo (kebetulan keluarga Yani adalah keturunan ningrat).


Nah lho... gimana tuh. Memang kondisi yang saya lontarkan adalah salah satu contoh sepihak versi saya, dari ribuan kondisi yang terjadi. Mungkin memang masih ada kaum wanita yang tertindas. Tapi tetap saja, kesalahpahaman akibat kefanatikan terhadap isme-isme itu bisa berbahaya. Itu sebabnya saya lebih suka kalau bentuk perlawanan tidak lagi menggunakan label feminisme. Kenapa nggak berlandaskan hati-nurani-isme? Lebih nendang gitu lho...

Gimana menurut Anda wahai kaum hawa yang saya cintai? Comment yuuuuuk yaaaa yuuuuk....

Thursday, February 03, 2005

Greyers



Inilah wajah-wajah insan kreatif di "Abu-abu Dunialebar". Ini komposisi terakhir di tanggal 31 Januari 2005.

Silakan dinikmati.... (apa seeeeeh).

Tuesday, February 01, 2005

Most Wonderous Night

Ilham (anak pertama saya) sudah berusia 6,5 tahun. Adeknya, Zahra, berusia 3 tahun 2 bulan. Sejak mereka lahir belum pernah sekali pun saya menidurkan mereka (kalo kata orang Suriname, tuck them in). Biasanya mereka bobo sama ibunya.... sampai tadi malam. Mereka harus tidur misah karena ibunya sakit demam dan nggak bisa kena AC (anak-anak saya kebetulan produk metropolitan yang sudah bergantung dengan sebuah piranti bernama "pendingin udara").

Tucking in... sebuah kegiatan yang sangat sederhana memang. Nemenin anak sampai mereka bobo. Tapi ternyata pengalaman yang saya dapat tidak sesederhana itu.

Dimulai dari mengatur posisi tidur. Karena kasur yang tersedia cuma satu, anak-anak saya harus berbagi. Kemungkinan yang tersedia tidak banyak. Mereka harus tidur bersebelah-sebelahan.

Kemudian menemani mereka tidur-tiduran (anak kecil nggak bisa kaya' orang tua, nempel bantal langsung molor). Sebelumnya kita bareng-bareng baca doa sebelum tidur. Saya sempat sedikit membangkitkan keberanian mereka untuk melawan rasa takut akan setan; dengan membaca doa sederhana "A'udzubillahi minassyaitoni rojiiim". Adek lumayan nerima. Dia bahkan berkomentar "Kalau setannya ke rumah orang, kita usir lagi ya Pak..." (kurang lebih gitu deh... gak persis plek ketiplek). Dia bahkan nambahin "...minum susu yang banyak biar kuat jadi setannya takut...". Sebuah statement polos yang membuat saya tertawa.

Lalu saya meminta ijin untuk mematikan lampu besar dan menyalakan lampu kecil. Ajaib! Mereka setuju. Padahal mereka biasanya paling anti dengan yang namanya tidur dalam gelap. Selanjutnya saya membacakan surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. Surah-surah pendek ini semoga bisa gampang teringat oleh mereka.

Sesaat setelah selesai berdoa, mereka kemudian tertidur. Saya menyelimuti mereka supaya kalau nanti tengah malam mereka tidak kedinginan. Sebelum keluar kamar untuk mengurus ibunya yang sedang demam di kamar lain, sejenak saya melihat ke arah mereka. Tiba-tiba... entah dari mana datangnya... perasaan hangat menjalar dalam dada saya. Perasaan itu begitu nyaman dan membuat saya begitu bahagia. Nggak tauk kenapa, saya lalu merasakan syukur yang amat sangat besar atas anugerah yang terindah dalam hidup saya itu. Tiba-tiba saja dua tabung oxygen kehidupan saya itu (bosen pake metafora "mutiara/permata kehidupan") menjadi begitu mempesona (biasanya ngerepotin... satu susah belajar, satu keras kepala). Mereka terlihat begitu damai dan menenangkan. Suatu perasaan yang bisa meneduhkan jiwa dari hingar-bingarnya aktifitas duniawi yang menyesatkan ini. Ah... saya memang harus sering-sering menina-bobokkan mereka.