"Mau kamu apa? Kamu nggak bisa kaya' gini. Kalau mau ngobrol ya ngobrol. Nggak usah pakai kasih gesture-gesture seolah-olah kamu butuh teman ngobrol, tapi saat aku menawarkan diri untuk mendengarkan semua keluh-kesah kamu... kamu langsung bersikap nggak butuh untuk didengarkan!"
"Terus terang... aku capek dengan kondisi seperti ini. Kamu bikin aku seperti berada dalam wilayah keragu-raguan. Begini salah, begitu makin salah, nggak begini dan nggak begitu... kamu sedih. Aku bukan dewa yang bisa baca pikiran kamu. Kalau kamu mau dimengerti, kamu juga harus paham bahwa pengertian itu datang dari komunikasi."
"Aku benar-benar nggak ngerti sama kamu. Kamu sendiri sadar kalau menggantungkan harapan pada sesuatu yang nggak pasti itu adalah kesia-siaan. Tapi sekarang kenapa sikap kamu menunjukkan seolah-olah aku yang selalu memaksa kamu untuk bergantung pada harapan semu itu?"
"Bisa membantu mengurangi beban kamu adalah hal yang membahagiakan buat aku. Tapi kamu nggak bisa berharap aku untuk terus care sama kamu sementara kamu sibuk sendiri dengan dunia kamu. Kamu sadar nggak kalau sikap kamu tuh memperlihatkan ketidakbutuhan kamu akan kehadiran aku. Bahkan untuk sekedar menjadi tempat pelampiasan kekesalan dan kepenatan kamu."
"Mau kamu apa jadinya? Ngomong dong... jangan cuma diam!"
Wajah Lastri tetap terperangah tidak mengerti apa yang diucapkan Samsul. Dia berusaha membaca setiap gerak bibir Samsul, tapi karena ucapannya begitu cepat memberondongnya... Lastri tak sanggup untuk mengikutinya.
Sejuta perasaan berkecamuk dan bergemuruh dalam dada Lastri. Ingin rasanya dia ucapkan semuanya. Tapi semenjak dia kehilangan indera pendengarannya 3 bulan silam, dia takut salah bicara. Yang keluar dari mulut Lastri cuma satu bisikan lirih, "Maaf...".
1 comment:
Salam perkenlan dari saya gan, wah bagus nih tulisannya
Post a Comment