Saat kecil, saya sering dicubit. Kebanyakan oleh orang tua, karena kenakalan dan kebandelan saya; juga oleh guru, lagi-lagi karena kenakalan dan kebandelan saya.
Intensita pencubitannya bermacam-macam. Paling ringan cuma meniggalkan bekas merah. Tapi bekas yang membiru dan bisa terlihat sampai 3 hari kemudian juga sering.
Saat bekas cubitan itu masih berwarna biru, merupakan saat yang paling tidak nyaman. Bekas cubitan itu masih menimbulkan rasa nyeri bisa terlibat kontak dengan benda lain (orang, binatan atau benda mati).
Setelah saya dewasa, cubitan biasanya diberikan oleh teman-teman wanita yang saya "kerjain" (konotasi positif lho ya... bukan negatif). Saking gemesnya, teman-teman yang saya "godain" (lagi-lagi konotasi positif) jadi nggak tahan dan kemudian mencubit saya. Bekasnya juga bermacam-macam, tergantung intensitas pencubitan.
Setelah beberapa waktu lewat tanpa penderitaan yang merupakan dampak dari pencubitan, tiba-tiba hari ini saya dicubit lagi. Anehnya, cubitan ini tidak saya rasakan pada bagian luar tubuh (kulit). Tapi di dalam.
Jelas tidak menimbulkan bekas eksternal. Tidak ada warna biru ataupun merah di permukaan kulit. Anehnya, sakitnya malah lebih sakit. Oleh salah seorang pencipta lagu dangdut malah diibaratkan lebih parah dari sakit gigi.
Cubitan itu begitu lembut, pelan... tapi benar-benar menusuk. Dalam. Dingin. Tanpa belas kasihan. Sialnya lagi, orang yang mencubit ini nggak sadar kalau hal yang dia lakukan (saya yakin dia tidak bermaksud apa-apa dengan tindakannya itu) atas dasar kejujuran... sebenarnya malah membuat saya tercubit.
Rasanya saya mau menelan 10 butir Ponstan 500mg sekaligus, biar rasa sakit itu bisa terbunuh. Tapi hal ini bisa merugikan individu-individu terdekat yang saya cintai.
Saat ini saya cuma bisa teriak (meskipun saya yakin, orang yang mencubit saya ini nggak akan bisa mendengarkan teriakan saya) kalau DICUBIT ITU NGGAK ENAK TAUK !!!
Tulisan ini juga saya posting di bucin.multiply.com.
No comments:
Post a Comment