Pages

Monday, October 06, 2014

Hikmah Berkurban

Idul Adha, yang juga lebih dikenal dengan idul kurban, memiliki makna yang bisa beragam; tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Yang banyak dipercayai awam adalah berdasarkan pada kisah yang tercantum dalam Qur'an, yaitu pengurbanan nabi Ibrahim.

Jika ada yang menginterpretasikan dengan ketaatan, bisa juga. Atau soal "ujian"? Tidak salah. Sekali lagi, peristiwa yang sudah melalui penyampaian ini memang multi-interpretasi.

Yuk kita coba lihat lagi, seperti apa sih sebenarnya kisah kurban ini.


Kisah ini bermula dari ucapan nabi Ibrahim. Setelah Allah Ta'ala menyelamatkan Nabi Ibrahim AS dari pembakaran Fir’aun Namrud, ia mengorbankan 1.000 ekor domba jantan, 300 ekor sapi dan 100 ekor unta sebagai wujud rasa syukurnya. Tidak pernah ada orang yang lebih dermawan daripada dia di saat itu.

Ketika ditanya kenapa ia rela mengorbankan begitu banyak harta, Ibrahim menjawab, ”Saya telah siap untuk berkorban nyawa bagi Tuhanku. Kenapa saya harus keberatan mengorbankan harta?... Lagipula sebenarnya kekayaan siapakah yang saya korbankan?... Hidup dan segala hartaku semuanya kepunyaan Tuhan. Apa yang telah saya korbankan tidak ada artinya. Saya bahkan akan mengorbankan bagi Tuhan milikku yang paling berharga. Jika saya punya seorang anak, saya akan mengorbankannya jika Tuhan menghendaki.”

Pernyataan itu terlontar ketika saat itu nabi Ibrahim masih belum dikaruniai anak. Hingga kemudian beberapa (puluh) tahun berselang, ketika ia akhirnya memiliki seorang putra, Ismail. Sebagai anak pertama yang telah dinanti-nanti, Ismail tentunya memiliki tempat yang amat sangat spesial dalam hidup Ibrahim. Perhatian  dan kasih sayang tercurah untuk buah hati semata wayang.

Hingga ketika Ismail mencapai usia 10 tahun-an. Tuhan menagih janji yang pernah terucap oleh Ibrahim. Selama 3 malam berturut-turut ia bermimpi menyembelih Ismail. Anak satu-satunya yang sangat ia cintai; yang butuh berpuluh tahun hingga Tuhan berkenan mengaruniakannya pada Ibrahim. Hal ini tentunya bukan hal yang mudah. Bayangkan, menyembelih buah hati, hanya berdasarkan pada mimpi. Kira-kira, jika kita menjadi Ibrahim, apa yang akan kita pikirkan? "Ah, masa Tuhan setega itu sih sama saya?" -- ini adalah respon normal. Tapi tidak bagi Ibrahim. Entah bagaimana, ia akhirnya bisa meyakinkan diri bahwa itu memang isyarat yang datang dari Sang Pencipta. Dan ia... menuntaskan nazarnya.

Bandingkan dengan kondisi sekarang. Ketika dulu Ibrahim rela mengedepankan Tuhan dengan mengorbankan putera semata wayangnya, sekarang justru banyak orang tua yang mengorbankan Tuhannya demi kepentingan anak dan keluarga. 

Kembali pada hikmah berkorban. Jadi hemat saya, ketaatan dan keikhlasan berkurban, bukan hanya diukur dari jumlah dan nilai hewan yang kita korbankan. Pertanyaan terbesar adalah, mampukah kita mengorbankan apa pun untuk-Nya?