Pages

Friday, July 11, 2014

Yth. Bpk. Jokowi.


Pak Jokowi, 9 Juli lalu, di bilik berukuran kurang dari 1 meter persegi, nasib bangsa seluas hampir 2 juta km persegi ditentukan. Kebetulan saya termasuk salah seorang yang menitipkan amanah pada Bapak. Bukan karena saya nge-fans pada Bapak. Awalnya malah saya kecewa karena Bapak mengulang pola kepemimpinan terakhir di Solo. Belum tuntas masa jabatan, menyalonkan diri jadi DKI-1. Belum tuntas pula semua program yang Bapak janjikan terlaksana, Bapak maju menjadi calon presiden. Saat membaca CV yang masuk ke meja saya, riwayat bekerja seperti ini langsung membuat saya ill-feel.


Tapi oke lah, saya coba kesampingkan. Mungkin saja bangsa ini jauh lebih membutuhkan Bapak, ketimbang Jakarta. Saya kembali terpikir untuk mendukung Bapak. Apalagi saat Bapak menggaet Pak Jusuf Kalla, seorang tokoh yang di mata saya adalah termasuk orang yang "baik", simpati saya mulai tumbuh kembali.

Sayangnya seiring waktu, tingkah partisan militan pendukung Bapak yang aktif di sosial media mulai terlihat jauh dari derajat intelektualitas akademis yang mereka sandang. Mereka melecehkan Pak Prabowo. Saya tahu, Pak Prabowo punya riwayat kelam dalam sejarah bangsa ini. Ketika menggandeng Bapak Hatta Rajasa pun buat saya itu seperti terjun bebas ke jurang sambil menggendong karung semen yang penuh terisi. Dukungan FPI dan PKS yang berdiri di belakang Bapak Prabowo semakin membuat saya heran. Ini sama saja bunuh diri menggunakan bom nuklir. Secara logika, tidak mungkin koalisi seperti ini bisa menarik dukungan massa.

Tapi kenyataan berbicara lain. Keangkuhan pendukung Bapak mulai membuat beberapa orang kehilangan simpati. Arogansi intelektualitas membuat pendukung Bapak seperti mengenakan kaca mata kuda. Kebenaran hakiki seolah menjadi milik mereka. Rakyat yang pintar HARUS mendukung Bapak. Rakyat yang ingin perubahan HARUS ada di sisi Bapak. Mereka yang mendukung Bapak Prabowo seakan masuk dalam kategori sampah masyarakat. Di sini saya menolak. Saya percaya, tujuan baik harus dilakukan lewat cara yang baik. Saya takut memilih Bapak karena ngeri membayangkan bangsa ini dipimpin oleh orang yang baik tapi di level eksekusi, dipenuhi orang-orang yang tidak kalah jahat dan keji. Buat saya, kesalahan yang dilakukan oleh orang bodoh itu tidak seburuk kesalahan yang dilakukan oleh orang pintar. Orang pintar seharusnya lebih tahu bagaimana cara menjaga kesopanan.

Saya kemudian banyak melakukan hal-hal yang mempertanyakan kondisi tersebut. Oleh sebagian orang, saya cenderung dianggap berpihak pada Bapak Prabowo. Bisa jadi itu benar. Karena di saat itu, linimasa saya memang cuma dipenuhi orang-orang yang membela Bapak mati-matian sementara fitnah yang katanya santer itu justru tidak saya temukan. Saya jadi heran, orang-orang ini membela siapa sebenarnya. Beberapa teman mengatakan sebaliknya. Linimasa mereka penuh dengan berita-berita fitnah seputar pribadi Bapak. Tapi, menurut saya, itu karena mereka tidak memfilter jejaring yang dimiliki. Jauh-jauh hari, akun-akun yang tidak jelas sudah bersih dari jejaring sosial meda saya. Jadi yang terlihat oleh saya adalah, pihak yang membela Bapak mati-matian tanpa saya tahu apa sebabnya. Sementara itu, teman-teman yang mendukung Bapak Prabowo malah terlihat lebih tenang dan biasa-biasa saja.

Menjelang pemilihan, memasuki masa tenang, ternyata tindakan pendukung Bapak jauh lebih aktif dari pendukung pak Prabowo. Memang aturan steril kampanye hanya berlaku di kanal konvensional (TV, radio, media cetak, media luar ruang). Tapi dengan segala kecerdasannya, kekurangan dari aturan tersebut dimanfaatkan secara maksimal oleh pendukung Bapak. Hal ini membuat saya makin tidak ingin memilih, bahkan hingga malam hari di tanggal 8 Juli. Pagi harinya pun saya bangun dengan tujuan mengantar istri untuk mencoblos. Sampai kemudian ketika saya ada dalam bilik.

Ketika form pemilihan itu ada dalam genggaman, saya tersadarkan. Begitu banyak hal yang sudah disiapkan oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenal saya, hanya agar saya bisa diperlakukan adil dan mendapat hak yang sama. Saya jadi merasa sangat jahat andaikan membiarkan itu semua menjadi kesia-siaan dengan tidak menggunakan hak pilih saya.

Napas panjang saya tarik. Semua kebencian saya hilangkan. Semua praduga saya hapus. Logika tidak lagi saya gunakan. Saya murni memilih berdasarkan bisikan hati. Apakah saya yakin Bapak adalah tokoh yang tepat? Saya tidak tahu. Tapi hati kecil saya sudah memilih. Pilihan yang semata didorong oleh firasat dan harapan, bahwa andaikan menang, Bapak mampu memilih orang-orang baik untuk bisa menjalankan roda pemerintahan bangsa ini. Harapan bahwa Bapak akan tetap rendah hati dan bersedia mendengarkan keluhan anak bangsa.

Saya titipkan amanah ini dengan harapan Bapak bisa memegang teguh amanah dan tidak menjadi khianat. Tapi saya siap, andaikan kenyataan nantinya bicara lain. Bagaimana pun, politik adalah politik. Tidak perkawanan sejati di situ, yang ada hanyalah kesamaan kepentingan. Jika hasil penghitungan tanggal 22 Juli nanti Bapak terpilih menjadi Presiden, saya akan pastikan bahwa amanah saya tidak sia-sia. Saya akan selalu menagih jika nantinya situasi berbicara lain. Amanah ini insya Allah akan Bapak bawa hingga di kehidupan berikutnya. Jadi tolong dijaga amanah ini ya Pak. Amanah dari ratusan juta rakyat yang masih berusaha percaya pada Bapak.

Wassalam.

3 comments:

Anonymous said...

tulisan yang menarik, mas..
saya sangat setuju dengan sudut pandang mas terhadap "fans" yang membabibuta membela capres no 2. Semoga amanahnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, untuk kemajuan bangsa ini.

Bucin said...

terima kasih sudah berkunjung. mungkin itu memang konsekwensi dari pembelajaran demokrasi buat bangsa ini. :)

Rin Kun said...


buat samsungbola. com



agen bola dan kasino online



agen bola online



bandar bola



agen judi online



buat inulpoker. com




agen poker dan domino online



agen poker terpercaya



poker online indonesia



poker online terpercaya



buat pokerwalet. com



poker online



poker online indonesia



agen poker online terpercaya



agen poker dan domino