Pages

Tuesday, September 09, 2008

Guru oh Guru



Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pepatah itu sangat beralasan. Sebagai individu yang intensitas pertemuannya dengan murid cukup sering (sangat sering bahkan), guru merupakan sosok yang berpengaruh kuat dalam pengembangan kepribadian dan intelegensia murid. Bahkan ada kejadian dimana seorang murid lebih menyukai gurunya ketimbang orang tua kandungnya (fenomena temporer sih, tapi cukup memprihatinkan).

Saya sendiri pernah mengalami kondisi seperti itu. Balik ke jaman SMP 10 tahun silam, guru biologi saya begitu cantik. Saya jadi seneng sekali mendapat pelajaran dari beliau.

Lho, kok jadi melenceng topiknya?

Kembali mencoba serius.

Masa SD dulu, saya takut sekali dengan yang namanya guru. Saat itu, guru punya otoritas yang cukup luas. Tangan digetok penghapus papan tulis gara-gara lupa potong kuku, pinggang dicubit gara-gara seragam gak dimasukin, sampai pada pecutan gagang bulu ayam karena telat sekolah (bekasnya ampe merah lho... beneran sakit!); adalah hal-hal yang lazim diterima. Nggak ada komplen, nggak ada ngadu-ngadu ke orang tua.

Bagaimana kalau perlakuan seperti itu sekarang terjadi ke anak-anak kita? Saya rasa hampir sebagian besar pasti nggak setuju. Pola pendidikan jaman dulu yang mengutamakan rasa takut dalam membentuk kedisiplinan ternyata lebih banyak mengena di wilayah permukaan tanpa menyentuh inti. Pendek katanya, murid jadinya cuma takut sama guru di sekolah, di luar sekolah guru jadi nggak keliatan berwibawa.

Yang perlu dibentuk di sini adalah kesadaran. Melatih murid supaya mengerti dan bisa berpikir sehingga bisa menentukan mana yang baik dan mana yang harus dihindari. Sengaja variabelnya tidak linear karena yang harus dihindari itu belum tentu nggak baik (buat pelakunya).

Di rumah pun saya dan istri selalu berusaha melatih anak supaya hormat pada orang tua dan guru tanpa harus membuat mereka takut mengutarakan pendapat jika merasa benar. Sejauh ini lumayan berhasil meskipun tetap saja di beberapa kesempatan, mereka nakal (namanya juga anak-anak).

Nggak cuma sama orang tuanya, dari obrolan-obrolan istri saya dengan sesama orang tua murid, belum pernah sekalipun ada yang mengajukan komplen kalau anak saya bersikap kurang ajar. Mereka cukup takut jika melanggar aturan sekolah. Saking takutnya, saya kadang malah yang ngajarin untuk sedikit "nakal" :p.

Intinya adalah, anak saya cukup bisa menerima bentuk teguran jika mereka melakukan kesalahan. Tanpa harus dimarahi secara berlebihan, mereka bisa mengerti bahwa apa yang dilakukan itu adalah sebuah kesalahan.

Karenanya saya jadi begitu berang saat mendengar anak saya mendapat perlakuan yang berlebihan. Seperti yang baru saja terjadi pagi ini. Hanya karena tidak mengenakan pakaian muslimah, Zahra dipanggil ke depan kelas, kemudian sang guru bertanya pada murid-murid lain "Apakah ini yang namanya pakaian muslimah?". Pertanyaan retorik yang nggak perlu ditanyakan pada anak berusia 7-8 tahun karena mereka tentu saja serempak menjawab "TIDAAAAAAAAK....".

Di depan 40-an murid lain, Zahra harus menanggung malu karena kelalaian orang tuanya. Padahal guru tersebut bisa saja memberi surat teguran yang nantinya juga akan kita baca. Padahal beliau bisa saja memanggil ibunya (yang memang setiap hari nungguin di sekolah) lantas bicara baik-baik.

Memprihatinkan sekali kualitas pendidikan di negeri ini. Andai saja semua guru bisa seperti Ibu Muslimah....

Sigh... (mengurut dada).

No comments: