Pages

Monday, June 05, 2006

Dunia Bergerak Sejajar

Ketika ditanya, apa persamaan situasi dunia dengan tragedi gempa di Jawa Tengah? Mungkin jawabannya sangat beragam. Sebagian besar malah mempertanyakan, di mana letak persamaannya. Satu skalanya global, satu lagi cuma berupa propinsi kecil di Indonesia. Satu menyangkut harkat hidup ratusan juta manusia, satu lagi masih dalam skala juta-an. Kecuali sisi kemanusiaan yang tidak mengenal kuantitas, tentunya sangat sulit menemukan persamaan antara situasi dunia saat ini dengan tragedi yang terjadi di Jawa Tengah.

Tapi entah kenapa, saya banyak sekali menarik pelajaran dari tragedi kali ini. Sepertinya musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Jawa Tengah merupakan potret kecil dari gambaran situasi dunia saat ini. Ketika kondisi sosial politik dan ekonomi dunia sedang morat-marit, dibutuhkan lebih dari sekedar empati dan simpati. Keprihatinan yang cuma sebatas rasa menjadi kurang bermakna. Teriak sana-sini hanya merupakan wujud simpati yang lebih didominasi pencarian popularitas pribadi. Solidaritas yang berkesan dipaksakan. Apa yang terjadi di Jateng ibaratnya seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah kena musibah, jadi bahan tontonan. Perih.

"Kami butuh belas-kasihan tapi tidak minta dikasihani!" atau "Kami bukan tontonan" adalah pernyataan sederhana yang lahir dari jeritan hati terdalam. Untuk kondisi seperti sekarang ini memang yang mereka butuhkan adalah langkah kongkrit dari semua pihak. Wujud keprihatian berupa kunjungan seremonial hanya menambah dalam luka yang sudah menganga. Ini kah potret bangsa kita? Jika iya, saya benar-benar malu. Malu karena juga jadi bagian dari mereka yang hanya bisa sebatas kasihan dan berusaha menyalurkan sumbangan yang tidak terlalu besar nilainya, sementara puluhan bahkan ratusan orang telah bergerak seirama menyalurkan bantuan langsung pada yang membutuhkan.

Sepertinya ada paku besar bernama "pekerjaan" yang memaksa saya untuk merasa tidak bisa berbuat lebih. Ada tali kuat bernama "rutinitas" yang menjerat hingga saya cuma bisa sebatas mendoakan. Tanpa mengecilkan arti sebuah doa, tapi apa perlu saya mendapat undangan dengan pesan bertuliskan "Tanpa mengurangi rasa hormat, kami akan sangat berterimakasih jika rasa solidaritas tidak hanya berbentuk belas-kasihan dan keprihatinan". Mengapa aktivitas harian ini menjadi lebih penting? Apakah tanggung-jawab terhadap profesi lebih bernilai sehingga saya tak mampu meminta cuti beberapa hari saja agar bisa datang ke sana dan mengulurkan tangan secara langsung?

Semoga tamparan kali ini cukup bisa memaksa saya untuk menyadari bahwa dunia lebih butuh orang yang mau berbuat ketimbang orang dengan keinginan besar tanpa ada tindakan. Semoga saya bisa terus mengingat janji-janji yang tak terpenuhi serta cita-cita yang sudah lama terbengkalai untuk bisa menjadikan hidup ini lebih nikmat untuk dijalani.

Seperti halnya saudara kita di Yogya, dunia ini lebih membutuhkan orang-orang yang memiliki keinginan dan mampu merealisasikannya ketimbang mereka yang sibuk komentar sana-sini. Seperti juga dengan industri iklan saat ini.

Dunia memang sedang bergerak sejajar. Dengan masalah yang berbeda tapi dengan solusi yang sama: TINDAKAN!

No comments: