Pages

Saturday, June 03, 2006

Gap akademi & praktek, di mana kunci permasalahannya?

Dalam suatu obrolan ringan, salah seorang designer meminta pendapat mengenai print-ad yang dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah.

“Mas, komenin print ad gw dong”

Setelah melihat-lihat, saya gak ngerasa ada yang salah dengan iklan itu. “Ini utk tugas kuliah apa?”

“Etika Periklanan”

“Obyektifnya?”

“Bikin contoh iklan by brand leader yang gak melanggar etika”

Deg... saya bingung. Membuat iklan yang tidak melanggar etika? Itu kan gak perlu mikir. Bikin aja iklan yang biasa dan aman2. Beres.

Lalu, di mana manfaat memberi tugas seperti itu?

“Itu dosennya yang minta?” tanya saya.

“Iya”

Hayah. Kenapa dosen itu gak meminta mahasiswa/i-nya utk membuat tugas yg lebih mikir. Misalnya... “bikin iklan rokok yang dari visualnya bisa bikin orang langsung tau kalo ini iklan rokok tanpa memperlihatkan produk” --> black capucino versi cangkir can be a great example. Atau “bikin iklan yang promisenya ini produk nomor satu, tanpa harus mempergunakan kalimat/kata2 superlative”. Kaya’nya tugas2 menantang gitu bisa memancing mahasiswa/i utk berpikir lebih dalam lagi.



Dalam kasus lain, saya pernah kerja bareng 2 anak magang. Satu dari universitas negeri ternama (calon sarjana), satu lagi dari institusi pendidikan swasta (calon diploma). Dari ngobrol2, si mahasiswa negeri ini keliatan punya pemikiran yang lebih dalam. Tapi saat diminta bikin copy, buatan mahasiswa calon diploma jauh lebih bermain dan nyaris matang. hadoooh, piye tah?

Saat industri lagi “kacau-balau” seperti ini, sudah saatnya lembaga2 pendidikan lebih memfokuskan pada penyediaan sdm yang siap pakai. Paradigma “know little bout many thing” sudah harus diubah jadi “know more bout one thing” karena ini justru lebih tepat dengan kebutuhan industri.

Duduk bareng antara praktisi dan akademisi dan kemudian menentukan kurikulum pendidikan yang lebih tepat mungkin bisa jadi satu solusi. Kalau pun ini sudah dilakukan, semestinya masih harus dievaluasi kembali mengingat sampai sekarang masih banyak sarjana-sarjana yang lebih bangga akan gelar kesarjanaannya tanpa mawas diri akan kemampuan (skill).

Tapi pertanyaannya kemudian adalah “siapa yang mulai duluan?”. Sepertinya ada tembok yang memisahkan antara akademisi dan praktisi. Tembok itu bernama gengsi. Sementara akademisi rata-rata minimal S2 sedangkan praktisi rata2 “cuma” S1. Masing2 pihak masih terjerat dengan ego masing2. “Ah, si X kan cuma menang pengalaman, disuruh ngajar belum tentu bisa”. “Ih, dosen itu tinggi gelar doang. Mana ngerti ama keseharian kita?”. Ya kerjasama dong kalo gitu. X sharing experience, dosen nyari cara gimana merumuskan itu dalam sebuah kurikulum pendidikan yang bisa dicerna pelajar dengan lebih mudah.

Semoga ilustrasi di atas cuma kekhawatiran pribadi saya dan bukan kenyataan yang sesungguhnya. Tapi... apa iya begitu?

No comments: