Pages

Monday, October 31, 2005

Apalah Arti Sebuah Nama

"What's in a name?". Sebuah phrase dari seorang pujangga Istris terkenal, Shakespeare. Ketika kedekatan menjadi begitu mengikat, saat pikiran telah menyatu, sebuah embel-embel nama menjadi tak begitu penting lagi.

Tapi kalau kita berkaca pada sejarah, maka nama bukan lagi hal yang tak penting. Semua berkaitan dengan nama. Bagian yang bisa dikenang adalah nama (selain dari perilaku tentunya). Gadjah Mada menjadi sebuah hal yang jauh lebih bermakna ketimbang kita mengganti penyebutannya dengan "seorang patih yang berbekal keteguhan itikad berjanji untuk tidak lagi makan buah palapa; buah yang konon sangat nikmat di masa itu; sebelum bersatunya tanah air.

Lompat ke masa perjuangan, ratusan pahlawan perjuangan kita kenal dengan namanya. Ribuan bahkan seolah "mati sia-sia" karena namanya tercantum tak lebih hanya sebuah ukiran di batu nisan. Belum lagi jutaan "nama-nama" yang tak sempat ambil bagian dalam proses pencatatan sejarah karena jabatannya yang disandangnya saat berjuang bukanlah jabatan elit.

Proklamasi mencatat dua nama yang tak kalah abadinya. Soekarno-Hatta. Duo founding fathers yang akan dikenang sepanjang masa sebagai proklamator bangsa Indonesia. Turut serta di belakangnya W.R. Soepratman sebagai penggugah lagu kebangsaan Indonesia Raya serta ibu Fatmawati yang menjahit bendera kebangsaan yang pertama kali dikibarkan.

Saat era orde baru, peran nama menjadi begitu berharga. Temannya si "Anu", keluarganya si "Itu", anaknya si "Fulan", keponakannya si "Situ". Atribut nama bisa menjadi begitu berkuasa. Edi Tanzil berhasil membobol harta negara berkat surat sakti dengan nama seorang petinggi militer tertera di atasnya. Banyak anak begitu membanggakan nama belakangnya (biasanya diambil dari nama bokap). Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Daftar ini akan terus bertambah panjang dan jadi lebih panjang seiring perkembangan sejarah. Ribuan bahkan jutaan nama akan kembali ditoreh dalam catatan kehidupan dunia ini. Semua sisi kehidupan tak lepas dari nama. Bahkan dalam industri periklanan. Nama jadi begitu penting. Orang akan tertawa mengekek saat ada yang bertanya "Subiakto siapa ya?" atau "Emang Budiman ngetop ya?" atau "Triawan? Hm... sounds familiar, tapi gak gitu jelas". Banyak nama terpatri dalam ratusan lembar penghargaan untuk hasil karya iklan terbaik. Sampai di sini, masih patutkah kita bertanya "Apalah arti sebuah nama?".

Dibalik semua ketenaran dan kegemerlapan atas sebuah nama, saya cuma mau mengatakan bahwa saya meletakkan nilai seorang manusia lebih dari sekedar nama. Bukannya saya menafikan makna sebuah nama, tapi be realistic aja lah. Begitu banyak nama yang harus diingat sementara kapasitas otak nggak terlalu mumpuni. Apalagi untuk orang seperti saya yang memiliki nama paritas (baca pasaran; red.). Tapi satu hal yang pasti, saya nggak akan lupa dengan wajah. Jadi suatu saat, jika kita berpapasan dan kemudian saya menegur dengan "eh" atau "oy" atau "coy", yakinlah bahwa saya tidak melupakan Anda. Tidak sedikitpun. Saya hanya lupa nama Anda.

Thursday, October 27, 2005

Ajal


Acknowledge: image dipinjem dari GettyImages.com.

Dalam kepercayaan Islam, ajal diyakini sebagai salah satu perkara yang menjadi otoritas penuh sang Maha Kuasa. Jika waktu telah tiba, tak ada yang dapat mengelak. Kapan dan bagaimana dia memanggil, tak ada yang tahu. Dengan kata lain, mustinya kita benar-benar nggak akan bisa mengerti kapan kita akan berangkat. Bukan begitu bukan? (agak susah ya jawabnya hihihi...).

Pagi ini, Kamis 27 Oktober 2005, sekitar pukul 7.35, kakak dari ayah saya wafat. Satu malam sebelumnya (semalam), kembali saya harus melalui hal-hal yang saya nggak ngerti. Nggak tauk kenapa, semalam itu saya nggak bisa tidur. Perasaan saya kosong. Rasa takut begitu menyelimuti, tapi nggak jelas takut sama apa atau sama siapa. Tidak ada firasat sedikitpun, kecuali saya tiba-tiba kepikiran sama om saya (almarhum) yang kabarnya sedang sakit. Biasa lah, orang udah tua, sakit-sakit dikit mah jamak. Pagi ini, ketika saya siap-siap berangkat ke kantor, berita itu datang. Di antara rasa sedih, terselip sedikit kebahagiaan. Akhirnya dia bisa bertemu dengan penciptanya.

Saat melayat, ketika kami ngobrol-ngobrol dengan sepupu saya (anaknya almarhum), ternyata beliau seminggu sebelumnya pernah bilang kalau dia nggak akan bisa bertahan sampai hari Jum'at. Sebulan sebelumnya, beliau pernah berkunjung ke rumah bokap dan ngobrol-ngobrol. Waktu itu dia juga sempat bilang kalau dia paling tinggal sebulan lagi.

Tentu banyak yang pernah mengalami hal-hal tak lazim seperti ini. Kalau begitu ajal atau kematian ini bukan lagi hal yang confidential dong ya? Jika kita nantinya bisa mendapat firasat kapan kita akan berangkat, apa nggak berarti kita sudah bisa "mempersiapkan" bekal? Atau bahkan berupaya men-delay keberangkatan?

Sejuta pertanyaan melintas tanpa jawaban. Saya pun termenung. Daripada mencoba mencari jawaban yang nyaris mustahil itu, mending dilempar ke forum. Kali-kali ada yang bisa jawab.

Tuesday, October 25, 2005

Keseimbangan


Acknowledge: gambar dipinjam dari Masterfile.com.


Hampir segala sesuatu yang ada di dunia ini berada dalam keseimbangan. Masing-masing memiliki pasangannya. Besar-kecil, pendek-tinggi, laki-perempuan, siang-malam, dll. Satu melengkapi yang lainnya. Besar akan tampak besar jika memiliki pembanding yang kecil. Pemain basket jadi keliatan biasa aja karena semua rata-rata pada jangkung (coba pemainnya berdiri di sebelah gw hihihi). Primus jadi gak keliatan terlalu cakep jika saya ada di sebelahnya (gak boleh komplen weks hihihihi).

Melihat isi berita koran Kompas beberapa minggu belakangan ini juga sepertinya begitu. Masing-masing komponen isi koran dengan konten dan konteks yang beragam, berdampingan satu sama lain berusaha mengisi keseimbangan. Iklan tactical menyeimbangan iklan tematik (maaf, istilahnya terlalu ngiklan). Lowongan pekerjaan membuat berita-berita pehaka jadi tak terlalu tampak buruk.

Sebagian wakil rakyat dalam hal ini juga nggak mau ketinggalan. Saat berita-berita mengenai meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia makin marak; ditambah insiden-insiden yang muncul akibat "niat baik" pemerintah menyalurkan BLT (bantuan langsung tunai apa bolot sih kepanjangannya? gw masih bingung); membuat mereka mengambil inisiatif untuk menyeimbangkan kondisi ini. Muncullah ide untuk menambah pendapatan dari para wakil rakyat sebesar Rp 10 juta/bulan. So... berita-berita mengenai kemiskinan bisa diimbangi dengan meningkatnya kesejahteraan para anggota dewan.

Jadi jangan terlalu berburuk sangka. Sebenarnya tujuan mereka itu baik (barangkali). Karena jika tidak ada berita penyeimbang, bisa dibayangkan reaksi psikologis masyarakat yang setiap hari harus didera-dera informasi ngebete-in seperti harga BBM naik, harga sembako melonjak, meningkatnya angka pengangguran, meningkatnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika, dll; sehingga segala sesuatunya bisa tetap berada dalam keseimbangan.


PS.
Postingan ini juga upaya dari penyeimbangan atas kekesalan & kebencian akan praktek pembodohan masyarakat yang dilakukan oleh oknum2 yang tak kalah bodoh di kawasan Senayan. Kapan sembuhnya sih negara ini? Sigh....

Friday, October 14, 2005

Weirdest Dream

Dan ketika gerbang itu terbuka, jutaan kerlip cahaya bintang menghambur tanpa henti. Sebuah sumber cahaya yang merupakan asal dari jutaan bintang bertaburan tak sanggup terlihat. Kilaunya begitu menyilaukan. Bukan. Bukan mata yang silau. Tapi jiwa yang silau oleh kemegahannya.

"So...?" sebuah kalimat yang jelas tertangkap maknanya muncul dalam benak. Anehnya telinga ini tidak menangkap adanya suara sama sekali. Seolah-olah komunikasi yang terjadi adalah melalui telepati.

"Apaan nih?" tanya saya balik.

"Jadi gimana... lu kan udah 34 sekarang."

"Yaaah gimana ya, nggak gimana-gimana lah. Biasa aja. Kan situ juga yang ngasih."

"Ah... makin jago ngeles aja."

"Maklum lah... namanya juga manusia."

"So... udah siap masukin gerbang ini?"

"Terserah. Menurut situ?"

"Kok dibalikin lagi? Ya udah. Sekarang aja."

"Jangan sekarang dong."

"Katanya tadi terserah gue. Gimana sih. Emang masih kurang waktunya?"

"Bukannya kurang. Tapi saya masih belum memberi manfaat yang cukup buat orang banyak. Bukannya itu tujuan situ bikin saya?"

"So... what do you have in mind?"

"Gaya bener sih pake bahasa Inggris. Simple-nya gini, saya minta diberi kesempatan untuk bisa menghasilkan lebih banyak manfaat. Beri saya cukup tenaga, pengetahuan dan kesabaran supaya saya bisa selalu berusaha untuk menghasilkan yang terbaik."

"Buat apa? Biar diakuin oleh orang2?"

"Nggak. Cukup pengakuan situ aja yang penting buat saya. Kalo pun saya mau berjuang, moga-moga bisa menjadi inspirasi untuk orang lain, supaya selalu berusaha untuk memberi yang tebaik. Apa pun itu. Sekolah, kerjaan, olah raga, kehidupan, apapun."

"Ok. Approved."

"Ih, client banget sih gaya'nya."

"Hehehehe. Terus hari ini kamu mau kado apa?"

"Saya cuma punya satu permintaan."

"Name it."

"Bikin kehidupan ini lebih bahagia untuk semua orang."

Tininit... tininit... tininit... tininit.

"Pak... bangun. Sahur!" suara istriku kali ini terdengar jauh lebih merdu.

Monday, October 03, 2005

Ini Dadaku, Mana Dadamu?

"Ah... biasa..."
"Ngingetin sama ini ya..."
"Mirip nih sama anu!"
"Gak ada yang baru. Payah."
"Gimana mau maju?"
dst.....
dst....
dst...
dst..
dst.
dst
ds
t

Hhhh... (minjem ketawanya Cici Hoqi), kira-kira apa ya yang ada dalam isi kepalanya Mbak Pargy-nya Glenn? Ngeliat orang-orang pada komen ini komen itu. Dari ngalor sampe ngidul, hampir sama komentarnya. Hilir ke hulu, sami mawon. Kalo pun ada yang melakukan puja dan puji, itu hanya sekedarnya. Nggak jelas juga, muji karena emang kagum, sungkan atau nggak ngerti apa-apa.

Saya yang bukan siapa-siapa, cuma bisa godeg-godeg. Mau komen gak punya kapasitas. Mau ngusul gak punya kredibilitas. Mau nimbrung gak punya apa-apa. Ya udah, mending mingkem. Secara anak kemarin sore gitu lhow. "Siapa elo?" adalah pertanyaan menohok yang nggak mungkin bisa saya jawab.

Diam. Duduk manis. Sambil terus dan terus mencoba. Siapa tahu suatu saat bisa maju ke depan kelas dan mempertunjukkan nyanyian atau puisi baru yang bisa bikin orang terhibur. Saat itu baru saya punya keberanian mengajak kalian-kalian untuk mengunjukkan dada. Berminat? Yuuuk ya yuuuuk.

PS
Very much inspired by Glen's post.