Pages

Thursday, October 23, 2008

Kebetulan Yang Memuakkan

Kebetulan salah satu klien kami sedang mengadakan workshop di sebuah hotel bintang lima. Berlokasi di kawasan yang strategis dan berdempetan dengan mall yang mewah, nggak heran kalau hotel ini menjadi titik pertemuan yang banyak digunakan orang.

Kebetulan pula kami harus melakukan presentasi hari itu juga. Jadi meluncurlah saya dan dua teman kantor ke tempat tersebut.

Ruang berpendingin udara sejuk sangat memberikan kenyamanan setelah harus melalui udara Jakarta yang nggak tahu kenapa terasa begitu sangat panas belakangan ini. Sofa empuk berbungkus bahan halus tentu saja sangat memanjakan siapa pun yang mendudukinya. Ditemani alunan musik hidup (live music) dari instrumental piano, presentasi kali ini rasanya jadi lebih gimana gitu... kalau katanya wong londo, sophisticated gitu kali ya.

Duduk di sofa seberang kami, seorang berpenampilan necis berjas mengenakan sorban ala sikh (bener nggak ini nulisnya?). Dari penampilannya yang terawat, pastinya dia adalah seorang pengusaha dengan kehidupan yang mapan (eufemisme dari tajir).

Kebetulan presentasi kami berjalan tidak terlalu lama sehingga memungkinkan kami untuk ngobrol-ngobrol ringan dengan klien. Selang beberapa waktu kemudian datanglah seorang pria lain berpenampilan kasual. Dia bercerutu. Salah satu asesoris yang juga berfungsi sebagai identitas status sosial. Hm... pasti dia adalah salah seorang mitra usahanya. Mereka berjabat tangan erat, melempar senyum ramah satu sama lain.

Tak lama mereka pun terlihat ngobrol dengan serius. Wah pasti urusan bisnis yang nilainya em-eman, atau bahkan bisa triliunan. Wajar saja mereka bertemu di sini. Untuk urusan bernilai besar, butuh tempat yang memberikan kenyamanan setara. Dalam berbisnis, menjaga citra bisa jadi hal yang sangat penting. Kredibilitas perlu didukung dengan penampilan, selera serta fasilitas pendukung yang sederajat.

Kebetulan pria bercerutu tadi memiliki suara besar yang tidak terkontrol gain-nya sehingga membuat kita secara kebetulan mencuri-dengar pembicaraan mereka.

Pria bercerutu bicara pada pria bersorban yang lebih banyak manggut-manggut nunut.

“Situasi sekarang cukup pelik...”. Hm... krisis ekonomi yang melanda sekarang emang berbuntut panjang. Pengusaha-pengusaha kita bahkan kena imbasnya.

“Untuk bisa meraih XXX kursi, partai Z butuh YYY suara. Figur AAA sepertinya masih cukup kuat, tapi butuh dukungan dari si BBB supaya lebih mantap. Partai J pasti akan bereaksi seperti bla bla bla. Tapi kita bisa mengusahakan penambahan CCC jumlah suara. Bukan hal yang sulit....”

Hueeeeeeeeeeeek.... kebetulan denger pembicaraan orang kali ini bikin perut saya mual tiba-tiba. Kalau saja sepatu ini hidup, pasti dia akan melepaskan lilitan talinya untuk kemudian terbang dari kaki saya pindah ke mulut pria bercurut tadi.

Sompret. Kalian ada di ruang yang serba nyaman dan mewah ini membicarakan nasib kalian tanpa memedulikan nasib masyarakat yang menafkahi kalian? Coba deh kalian sekali-kali ngobrol dengan Pak Kumis, tukang becak dekat rumah saya. Di usianya yang sudah kepala lima dia masih harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Tolong sempatkan ngobrol dengan office boy di kantor saya yang kalau nggak ada lemburan di kantor akan kesulitan mencari tambahan untuk biaya pendidikan anak-anaknya yang tinggal di kampung.

Kalian seharusnya sadar, posisi kalian itu adalah dipilih yang semestinya berdasarkan kepercayaan. Bukan atas dasar strategi kuat yang semata-mata demi mencapai perolehan suara. Tiap suara itu amanat yang akan kalian pertanggung-jawabkan dunia akhirat. Itu bukan hasil transaksi jual-beli putus.

Semoga suatu saat ada wakil rakyat yang memang duduk di sana karena “tuntutan rakyat”. Yang akan berjuang sekuat mungkin demi kesejahteraan orang yang percaya padanya. Bukan demi kenyamanan dan kemewahan fasilitas duniawi. Bukan demi ratusan juta rupiah dari ‘tanda terima kasih’ atas tender-tender dan proyek-proyek yang mereka setujui.

No comments: