Pages

Monday, February 26, 2007

PRT Pra-Bayar. Dagelanisasi rumah tangga.


Gambar diambil dari www1.istockphoto.com


Sekarang jaman susah. Harus pintar-pintar putar otak supaya bisa bertahan hidup atau katanya orang bule "to survive". Banyak usaha aja nggak cukup, kita juga harus banyak akal. Saking banyaknya, kadang malah kelihatan seperti akal-akalan. Susahnya, keseluruhan sistem sosial dan politik yang terjadi belakangan di negara kita seolah-olah memberi contoh dan bisa jadi pembenaran dari kegiatan "akal-akalan" tadi. Mau contoh kongkrit? Lihat saja di blognya Sesek yang secara konsekwen dan rutin rajin sekali menyorot perilaku-perilaku dagelan politik yang tersaji makin marak belakangan ini. Emang sih kita sangat butuh hiburan segar, tapi kalau yang ndagel itu elit politik rasanya sangat terlalu tidak lucu jadinya.


Nah, kembali ke budaya ndagel-mendagel tadi. Aktivitas ini ternyata sudah merambah ke mana-mana. Seperti yang terjadi beberapa minggu lalu. Ceritanya saya sedang butuh-butuhnya kehadiran asisten untuk membantu meringankan kerjaan istri mengurus rumah. Hingga akhirnya muncullah seorang wanita berwajah polos nan lugu yang menawarkan dirinya. Setelah tawar menawar yang tidak terlalu ribet, kesepakatan harga langsung didapat. Agak mengherankan juga karena biasanya proses negosiasi ini berjalan ulet dan ketat. Si Mbak pun pulang karena dia memang tidak membawa apa-apa.

Setelah beberapa hari, si Mbak dateng lagi dianter bapaknya. Kesan pertama, bapaknya terlihat baik dan nggak neko-neko. Tanpa panjang lebar, dia menasihati anaknya untuk mau nurut dan mendengar kalau dibilangin. Tak lupa si Bapak berpesan supaya kami sabar-sabar menghadapi anaknya, karena dia masih butuh bimbingan. Oke lah, nggak masalah karena di mana-mana, proses adaptasi memang butuh waktu. Di penghujung waktu, sebelum pulang, si Bapak meminta tolong dipinjamkan sebagian gaji anaknya karena dia kebetulan kepepet. Nggak masalah juga, toh anaknya sendiri nggak keberatan.

3 hari berjalan, si Mbak tiba-tiba minta ijin untuk pulang ke rumah bapaknya. Mau ambil baju katanya. Istri dan saya pun sedikit heran, lah kok mau kerja di rumah orang tapi nggak bawa baju kui piye toh? Kali ini baru masalah, ijin jelas nggak bakal dikeluarkan. Case closed. Si Mbak terpaksa tetap tinggal di rumah saya dengan persediaan baju seadanya.

Beberapa hari lalu, tiba-tiba si Mbak bilang dia mau pulang saja. Nggak betah lah, suka kambuh maag lah, terlalu berat kerjaannya lah. Diminta cariin ganti, dia nggak bisa. Diminta nunggu sampai sebulan penuh supaya dia bisa dapat sisa gaji, dia nggak kuat. Diminta supaya bapaknya yang jemput di rumah, dia nggak mau dan berkeras pulang malam itu. Ya sutra, ini negara bebas toh. Kerja di kantor pun kalau masih dalam probation masih bebas untuk berhenti kapan saja. Ini apa lagi, secara kontrak kerja aja nggak ada. Berangkat lah dia, bilangnya mau ke rumah saudara. Malam pun berjalan seperti biasa (emang ada malam yang nggak biasa ya?).

Besok malamnya tiba-tiba istrikuw bilang, si Mbak ternyata nginep di rumah temennya. Dia datang nangis-nangis dan mengadu seolah-olah sudah diambil haknya karena nggak dapat gaji. Kakaknya bahkan sempet nelpon ke temen dekat istri saya menanyakan kenapa kami sampai bisa sejahat itu. Saya sama istri cuma bisa ketawa-ketawa pahit dan melanjutkan nonton berita di TV mengenai dagelan negara. Ini jelas lebih menarik ketimbang dagelan rumah tangga yang nggak mutu ini. Hahahaha.

Tuesday, February 13, 2007

D'Cost - A seafood resto that cost you almost nothing.



"Mutu bintang lima, harga kaki lima." begitu claim dari restoran sea food yang terletak di bilangan Kemang ini. Membaca teks yang terpampang besar di koridor atap gedung restoran ini membuat bibir saya tercibir. "Kok tega-teganya bohongin orang ampe majang copy segede gambreng" kata saya dalam hati.

Masuk ke dalam, kesan bersih sangat terasa. Interior yang didominasi warna terang ditambah sistem penyejuk ruangan yang memadai membuat suasana begitu nyaman. Pengunjung yang datang cukup ramai untuk hari kerja (Senin). Hampir semua tempat terisi.

Sampai di meja, makanan sudah terhidang (secara acara ulang tahun temen kantor). Ada kepiting, cumi, ikan, kerang (secara ini adalah restoran sea food gitu loh) plus sayur-sayuran. Untuk rasa, ternyata lumayan menggoyang lidah. Nggak butuh waktu panjang, semua hidangan ludes. Sambil menunggu sajian penutup es kelapa muda, saya iseng baca menunya. JENG JENG! Harganya hampir nggak masuk akal. Nasi putih cuma seceng dan bebas nambah. Teh tawar: CEPEK! Asli, cuma seratus perak! Teh Botol pun cuma CENGGO. Untuk hidangan utama juga nggak kalah murah. Menu spesial hari itu udang galah bakar/goreng dihargai NOBAN per porsi (isi 4 ekor). AJAIB!

Di saat 'susah' seperti ini, rasanya senang sekali masih ada tempat makan nyaman dengan harga sangat terjangkau. Buat yang belum pernah ke sana, beneran deh. You just have to try this place. Tapi siap2 ngantri kalo dateng saat weekend. Menurut kabar, tempatnya penuh sesak. Demi kenyamanan mending datang di hari kerja.

Selamat mencoba!

Friday, February 09, 2007

Long Road To Perfection



Mari berkaca! Itu kesan yang saya dapat setelah melihat film ini. Bagaimana kita bisa melihat sebuah tragedi dan kemudian menarik pembelajaran daripadanya (weh, gaya bahasa apa pula ini hahahaha). Dari dialog2 yang terbangun, dari ekspresi2 yang muncul, dari konflik2 yang terbangun, semua mengajarkan kita satu hal: INTROSPEKSI. Jangan terlalu gegabah menilai, jangan pula terlalu cepat membela. Semua yang terjadi pasti ada kaitannya satu sama lain dan tidak terjadi begitu saja.

Setelah menonton LRTH, kita bisa mengerti bagaimana sempitnya pola pikir para pelaku hingga tega melakukan. Setelah menonton kita juga dicubit dengan kenyataan bahwa Bali sekarang bukan lagi milik kita. Bali tak lebih dari sebuah pulau sarana komoditas bagi para turis. Setelah menonton kita bisa lebih bijak untuk tidak menjadi prejudis terhadap "bule-bule". Bahwasanya kebaikan maupun kejahatan bisa hadir dari siapa saja.

Adalah sebuah gebrakan yang cukup berani dari Kalyana Shira Films untuk mengangkat tema ini. Sementara produser2 lain sedang asik masyuk dengan tema percintaan maupun perhantuan, KSF hadir dengan tema yang sarat dengan kontroversi, isu yang sensitif serta nilai-nilai kemanusiaan. Keberanian yang patut diacungi jempol.

Namun layaknya film2 lokal (duh, kok terkesan tendensius gini ya? hehehe), film ini pun tak lepas dari kekurangan (secara film Hollywood aja masih ada bolong2nya). Alur cerita yang datar, musik score yang kurang mampu membangun emosi, intonasi bicara yang masih terkesan "acting", art direction yang ala kadarnya (terutama saat nonjolin korban2 serta kejadian setelah ledakan). Balik2 lagi biasanya biaya adalah kendala nomor satu. Nggak bisa dihindari memang. Kualitas biasanya menuntut biaya besar. Tapi oke lah, secara ini film Indonesia, banyak hal yang bisa dimaklumi.

Dibalik itu semua, film ini patut dihargai sebagai sebuah bentuk pendobrakan atas dominasi pop culture. Untuk mengobati mereka yang kecewa, anggap saja beramal (sebagian hasil dari penjualan tiket disumbangkan ke YKIP). Toh ada hal2 menarik yang bisa menghibur kita seperti dialog antara Alex Komang & Raelee Hill:
RH, "I pay you 300 dollar, but that's it."
AK, "Ok, but only till 6 o'clock."
RH, "Australian Dollar's fine?"

AK, "American Dollar would be better."
Hahahahaha... secara di Bali apa2 matok harganya pakai Dollar Amerika.

Banyak lagi percakapan2 lain. Lucu, menyentuh, menyentil, menyindir.

Jadi, nggak usah repot2 ngaca sebelum pergi nonton film ini. Nanti juga di bioskop bakal banyak berkaca, meski gelap.