Pages

Thursday, July 06, 2006

Suatu hari di sebuah pertokoan




Tidak ada yang beda di hari itu. Hari Minggu yang sama dengan minggu-minggu sebelumnya. Mungkin saja akan terus sama dengan minggu-minggu yang lain. Kebetulan saja hari itu saya menemani istri berbelanja di sebuah pertokoan. Kebetulan juga hari itu ramai sekali. Begitu ramainya sehingga suasana di pertokoan itu tidak jauh beda dengan pasar. Orang berdesak-desakan mendorong trolly, permisi sana permisi sini meminta jalan.

Saya dan istri tetap dengan ritual bulanan. Mendorong trolly melewati lajur-lajur yang menjejerkan bermacam-macam produk dengan bermacam-macam merek pula. Lihat check list, ambil barangnya, taro’ di trolly dan kemudian lanjut ke lajur berikutnya.

Bermacam-macam produk melakukan promo. Beli ini gratis itu. Beli satu dapat satu setengah. Segala cara diusahakan untuk menarik minat konsumen untuk memilih produk yang dipromosikan. SPG, wobler, poster, sticker, flag chain, hanging mobile, activation... huaaaaaah bejibun! Semua nyaris menawarkan hal senada. Nilai lebih!

Istri saya sama saja dengan tipikal konsumen Indonesia lainnya. Milih yang paling murah, milih yang berhadiah. Common sense yang nggak bisa dibantah. Itu sudah jadi naluri kita. Begitu pula saat membeli pembasmi serangga, pola serupa pun terulang. Ada merek terkenal dengan harga sedikit lebih mahal. Istri saya memilih merek lain yang menawarkan hadiah jika membeli dalam kuantitas tertentu.

Melihat hal tersebut saya langsung terpikir, pantas saja klien lebih suka bikin iklan yang sifatnya instan. Tactical atau ad-hoc kata sebagian orang. Saya sendiri nggak gitu ngerti terminologi tersebut.

“Pasang segini, hasilnya berapa?” adalah pertanyaan yang selalu dilontarkan kebanyakan klien. Saya pun bersorak. Mari beramai-ramai memasuki dimensi jual-keras (hard sell). Persetan dengan merek. Yang penting umbar janji-janji surga melalui USP, dukung dengan hadiah, tambahin lagi dengan harga spesial. Boom. There you go. Consumers can’t go anywhere. (Sok nginggris kamu Cin! Biarin lah... secara once-once gitu loh.; baca: sekali-sekali).

Tapi ada satu hal yang kerap terlupakan (atau sengaja dilupakan?). Bahwasanya saat memilih produk pembasmi serangga tersebut, hadiah atau pun potongan harga yang ditawarkan bukanlah satu-satunya indikator yang mendorong istri saya memilih produk. Balik-balik lagi dia tetap memilih merek yang bisa dipercaya. Jadi prioritas utamanya adalah merek, lalu promo. Brand comes first, the next is about gimmick. Aaaaah, ternyata kekuatan sebuah merek (the power of brand) tidak benar-benar mati di era yang pragmatis ini.

Kenapa saya berkesimpulan seperti ini? Sederhana saja. Di situ banyak merek lain dengan penawaran lebih menarik dengan potongan harga lebih besar pula. Tapi istri saya tidak tergoda. Dia tetap mengutamakan merek. Mungkin itu juga sebabnya dia tetap memilih saya ketimbang pria lain yang lebih menjanjikan. Karena merek saya lebih kuat (ta’elah gayamu Cin... Cin). :p

Tiba-tiba saya jadi tertarik mengamati sekitar. Di panjangnya antrian menuju konter kasir, mata saya tak lepas dari trolly atau keranjang belanjaan orang lain. Bagaimana gaya pembeli? Karakter mereka seperti apa? Merek apa yang mereka pilih untuk produk tertentu? Waaaah... seru banget. Ternyata mengamati perilaku pembelian (purchasing behaviour) memang nggak semudah menghitung penjumlahan (1+1)x5 = berapa? (lho kok malah nanya). Semua orang memiliki pemilihan yang berbeda-beda.

Mereka sekarang jadi tampak seperti tebaran-tebaran jawaban puzzle mengenai merek. Menunggu untuk dipelajari, menunggu untuk digali lebih dalam, menunggu untuk dimengerti. Wuiiiih asik ya ternyata.

Wahai para jawaban puzzle, tunggu saya setiap hari. Takkan lagi ada waktu tersia-sia dengan membiarkan kalian berlalu begitu saja. Kalian akan saya tangkap, saya olah lalu saya jadikan petunjuk atas kegalauan yang selalu muncul setiap ingin membuat rencana komunikasi (communication strategy kata si bule). Kalian, ya kalian yang tersebar di jalan, di perkantoran, di hotel, di mall, di pasar, di semua tempat! Tunggu saya!

“Istriku, kita belanja bulanan bareng lagi ya.....”.

No comments: