Pages

Monday, August 01, 2005

"1st Step & Insting"


Minggu 31 Agustus 2005.

Tidak ada yang istimewa hari itu. Saya bangun tidur masih dengan mata sembab karena dibangunkan Zahra. Pagi-pagi dia sudah laporan kalau roda penompang sepedanya rusak. Setelah saya periksa, ternyata bautnya sudah dol. Akhirnya saya bilang "De, rodanya copot aja ya. Ade belajar roda dua ya?". Mengejutkan sekali, dia menjawab "Iya..." dengan penuh kepastian. Tadinya saya kasihan karena menyangka dia tidak punya keberanian untuk membantah orangtuanya. Alhasil, pagi itu dia cuma bisa mendorong-dorong sepedanya karena dia belum punya kemampuan untuk mengendarainya.

Sampai kemudian di sore harinya kami pergi ke rumah orang tua saya. Seperti biasa, kalau ibu-bapaknya pergi, anak-anak pasti minta ikut. Sepanjang perjalanan (jarak kontrakan saya dengan rumah orang tua cuma berjarak sekitar 200 meteran) saya dan istri bergantian memegang sepeda Zahra supaya dia bisa belajar menyeimbangkan dirinya. Ternyata kurang berhasil, karena setiap kali sepedanya miring dia malah menurunkan kakinya.

Sampai saat kami pulang, akhirnya Ilham (anak pertama saya) mengajarkan adiknya bagaimana menjalankan sepeda. Sederhana saja. Duduk dan dorong dengan kaki. Begitu sederhananya sampai saya pun tak terpikir untuk memberikan contoh seperti itu. Anehnya, Zahra bisa mengikuti contoh dari kakaknya. Dia mendorong sepeda dengan kaki, menjaga keseimbangan lewat setang kemudi dan sesekali saat akan jatuh dia menurunkan kakinya.

Keajaiban terjadi. Cuma dua kali mendorong dan menyeimbangkan sepeda, Zahra berani untuk mengayuhnya. Dan.... sim salabim! Dia langsung bisa mengenderai sepeda roda duanya di hari yang sama saat saya mencopot ban pendukungnya, cuma selisih sekitar 7 jam. Akhirnya saya dan istri saya memutuskan untuk menemani anak-anak bermain sepeda di pekarangan mesjid dekat rumah kami. Zahra terlihat begitu antusias dan penuh semangat. Setiap kayuhan kakinya diiringi dengan binar mata penuh kebahagiaan. Selama setengah jam saya dan istri saya cuma melihat dia begitu berkonsentrasi dengan sepedanya. Setengah jam penuh kebahagian dan begitu dalam maknanya buat saya.

Satu hal yang saya pelajari dari anak saya adalah bagaimana dia bisa begitu berani mengambil "langkah pertamanya". Proses adalah hal penting, tapi mengawali suatu proses adalah yang terpenting. Berani atau tidak kita mengambil keputusan. Saya jadi teringat pesan salah seorang senior, "Mengambil keputusan itu mudah. Tentukan pilihan dan pertahankan mati-matian agar pendapat itu bisa diterima orang."

Dia juga menambahkan tentunya bahwa pemilihan itu tidak cuma berdasarkan selera tapi juga pertimbangan-pertimbangan rasional lainnnya. Sebuah sudut pandang yang nyaris tak pernah terbayangkan oleh saya. Ternyata memang harus begitu. Bidang kerja kita tidak terpaku pada teori mutlak. Teori-teori tersebut hanya bersifat pendukung. Bagaimana kita mampu mengaplikasikannya sehingga menjadi bentuk yang menarik, di situ kuncinya. Pada akhirnya kita tidak bisa menggantungkan diri sepenuhnya pada pendapat orang lain. Di satu titik di mana semua orang menumpukna harapan pada kita, kita cuma punya insting (kalo kara orang Suriname "guts"). Masalahnya, bisa nggak kita percaya pada insting kita? Banyak contoh-contoh pengusaha sukses yang bisa berhasil karena percaya pada instingnya. Mereka berani memutuskan "langkah pertama" mereka.

Bisa kah kita percaya pada insting kita? Untuk kemudian menentukan langkah berikutnya, yaitu mengayuh pedal untuk menjalankan "sepeda keputusan" kita sendiri? Saya tak tahu dengan Anda, yang jelas buat saya hal itu tidak semudah yang terlihat.

Pertamakalinya Zahra naik sepeda roda dua. Kalau mau lihat aksinya, bisa klik link video ini.

No comments: