Pages

Wednesday, March 02, 2005

My Folks!



Mereka cuma orang biasa. Tinggal juga cuma di kompleks Bank Tabungan Negara (baca: KPR BTN; red.) tipe 70, 2 tingkat. Mobilnya Mitsubishi T120SS yang sejak pertama beli di tahun 1990 belum diganti-ganti sampai sekarang. Dua-duanya pegawai negeri. Bokap pensiunan, dulu dinas di TVRI dengan jabatan terakhir cuma Cameraman. Nyokap juga cuma guru SD. Really, there's nothing special about them. Nggak ada juga yang bisa bikin kalian-kalian yang baca postingan ini, terkagum-kagum akan kehebatan atau keluar-biasaan. Asli. Orang tua saya adalah manusia biasa, manusia kebanyakan.

Saya menulis ini juga agak-agak narsis mungkin. Karena semua dilandaskan atas kekaguman saya pada mereka. Saya kagum akan kenekatan mereka. Keberanian untuk meninggalkan kenyamanan demi pengalaman baru yang lebih menantang. Keinginan untuk terus berjuang.

Semua berawal dari 23 tahun sebelumnya (di tahun 1981 tepatnya). Saat itu papa (that's what I called him) sudah sekitar satu tahun menjabat sebagai Kabag (Kepala Bagian) Pemberitaan di TVRI Makassar. Bukan jabatan mewah kok. Kendaraan yang papa punya waktu itu cuma motor yang kalau pergi ke mana-mana dinaikin ber-6 (papa, mama dan 4 anak-anaknya). Untung waktu itu belum ada peraturan yang membatasi jumlah penumpang kendaraan bermotor qeqeqeqe. Kemewahan tertinggi yang bisa kita nikmati saat itu cuma kiriman parcel di hari lebaran.

Di tahun 1981 itu, entah kenapa... papa memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Karena mutasi ini bukan inisiatif kantor maka papa harus rela turun jabatan menjadi Cameraman. Tawaran rumah dinas dari Kepala Stasiun TVRI Makassar saat itu (Azis Husain) supaya papa tetap bertahan, ditolak. Sebuah alasan yang kelihatannya tidak masuk akal. Melepaskan jabatan dan fasilitas demi sebuah ego.

Ternyata keputusan "gila" itu membawa banyak sekali manfaat. Bukan dalam bentuk harta, tapi dalam bentuk pengalaman yang tak ternilai. Papa akhirnya bisa 13 kali berangkat haji; meskipun cuma abidin (atas biaya dinas). Mama juga bisa sekali pergi haji gretongan.

Nggak gitu banyak sih manfaat buat mereka, tapi buat saya? RRRUUUAAAARRRR BIASA. Saya bisa kuliah di UI, saya bisa jadi additional guitarist Singiku (sampai nongol di MTV Live 'N Loud malah), saya bisa kerja di Advertising dan berteman dengan artis-artis, saya bisa lihat Monas/Gedung MPR-DPR/Istana Negara/Dufan & Ancol/serta Mangga Besar, saya bisa tiap hari kerja ngelewatin Semanggi, saya bisa ketemu selebritis-selebritis di mall. Pokoknya banyak hal yang kelihatannya sepele, tapi kalau kita tinggal di daerah itu merupakan kejadian istimewa yang nggak akan mungkin bisa dinikmati setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun atau bahkan seumur hidup.

Tanpa saya sadari sebelumnya, ternyata kepindahan orang tua ke Jakarta membuat saya bisa menikmati begitu banyak kenikmatan dan kesempatan. Adek saya yang nomor 2 bahkan bisa mendapat beasiswa dan mengambil S2 di Waltham, Boston (room-mate-an sama Indira Abidin lho... anaknya Indra Abidin... qeqeqeqe....). Ternyata ada sesuatu yang dulu tidak saya sadari tapi sekarang baru saya mengerti. Orang tua saya berkorban demi memberikan anak-anaknya kesempatan yang lebih luas. Kesempatan untuk menikmati pengalaman yang lebih beraneka ragam dalam hidup.

Bisakah saya nanti memberikan kesempatan serta peluang yang sama untuk anak-anak saya? Semoga. Semoga saja. Saya merasa hutang saya pada orang tua, harus saya bayarkan pada anak-anak. Setidaknya, anak-anak saya harus bisa mendapat peluang yang sama; kalau bisa malah yang lebih baik... bahkan yang terbaik.

Ah... ternyata menjadi orang tua itu benar-benar membahagiakan. Thanks dad... mom... for everything. I owe you alot.

No comments: