Pages

Friday, February 04, 2005

Feminisme, Keras-Kepalaisme & Debat-Kusirisme

Di blognya Ganesh (anomk.multiply.com) ada artikel singkat. Tulisannya sederhana aja sih kalao menurut saya. Ganesh mencoba melontarkan uneg-uneg serta kegelisahan yang dia rasakan menyangkut fenomena "lesbianisme sosial" yang merupakan penyimpangan perjuangan dari semangat feminisme.

Ajaib! Tulisan singkat dan sederhana ini bisa memancing respons hingga (sampai saat ini, jum'at 4 februari 2005 pukul 18:20) 94 reply-an. Gila!!!! Kalo ini bisa masuk dalam salah satu kategori award periklanan, Ganesh is definitely the winner. Dengan analisa yang tidak belibet (singgle message + simplicity) dia berhasil memancing reaksi yang signifikan. Kalo acara TV, pasti ratingnya sampai 30!

Keseluruhan proses diskusi yang terjadi juga bisa digunakan sebagai penggambaran kondisi periklanan di Indonesia. Saat suatu iklan sedikit konfrontatif dan kontradiktif, para pakar langsung menjadi over-reaktif dan berebutan memberi komentar. Berbagai reaksi bermunculan merepresentasikan karakter penulisnya. Ada yang kalem, gelap mata, fanatik, marah-marah, tersinggung... ada juga yang berusaha ngelawak (tapi kurang sukses kaya'nya).

Oke lah... despite dari diskusi yang berlangsung, topiknya sendiri buat saya cukup menarik. Feminisme. Salah seorang penganut paham tersebut dengan serta merta membela mati-matian prinspi yang dipercayainya, seakan-akan dia sudah menjadi korban dari ketidak-setaraan-gender. Segala macam teori dia lontarkan. Beribu alasan dia kemukakan. Saya sampai kagum dengan keluasan-wawasan yang dia miliki. Luar biasa!

Feminisme. Katanya itu adalah semangan perlawanan akibat kondisi yang membuat wanita berdiri tidak sama tinggi dan duduk lebih rendah. Situasi yang dialami oleh wanita di masa feodal. Wanita tidak punya hak untuk bersuara. Harus ikut suami. Nggak boleh jadi pemimpin. Dilarang tampil ke depan. Dan banyak lagi kondisi yang tidak kondusif yang harus dialami oleh para kaum hawa.

Saya pribadi sangat tidak setuju dengan segala macam bentuk penindasan, apa pun bentuknya! Saya sangat percaya bahwa setiap individu punya hak dan kewajiban yang setara. Karena itu saya menganggap bahwa paham feminisme untuk masa-masa sekarang adalah barang basi! Semua laki-laki kaya'nya udah pada melek kalo wanita juga punya potensi yang sama. Saat kesadaran orang telah muncul maka secara otomatis aplikasi dari semangat feminisme itu juga harus berubah. Bukan lagi melawan, tapi membuktikan!

Coba lihat ilustrasi berikut.

Yani adalah seorang senior eksekutif di perusahaannya. Dia memiliki kompetensi yang sebanding (bahkan sedikit lebih tinggi) ketimbang Dani (senior eksekutif yang lain). Tanpa sadar mereka berkompetisi. Hasilnya positif. Masing-masing selalu menghasilkan yang terbaik. Sampai lah di satu titik dimana manager mereka naik pangkat. Peluang yang bagus buat Yani dan Dani untuk naik pangkat. Sadar akan kapabilitas Yani yang sedikit lebih baik, Dani sedikit minder. Tapi di luar dugaan. Ternyata yang diangkat jadi manager adalah Dani. Alasan bossnya simple. Yani itu pinter tapi cenderung lebih suka kerja sendiri. Sementara Dani berhasil mengembangkan team-nya. Jadi keberhasilan Yani lebih besar merupakan pencapaian individu, sementara pada Dani adalah keberhasilan kolektif.

Singkat kata, singkat cerita (anjrit... bahasanya dong, gak kuwat qeqeqeqe...) prosedur pengangkatan berjalan lancar. Tapi beberapa hari kemudian terdengar kabar burung bahwa terpilihnya Dani adalah atas dasar gender. Boss (yang kebetulan laki-laki) lebih suka penerusnya adalah laki-laki juga. Kantor heboh. Yani sendiri bingung saat dikonfirmasi mengenai isu tersebut. Dia tidak pernah melontarkan gosip tersebut ke khayalak luas. Usut punya usut, ternyata biang keroknya adalah si Tanti... sahabat dekat Yani. Yani merasa telah terjadi ketidaksetaraan gender dalam proses pengangkatan Dani. Duaaaaar.... Yani kaget. Ternyata kebesaran-jiwa dia dalam menerima keputusan boss, disalah-artikan oleh Tanti. Tanti merasa Yani masih dikekang oleh aturan-aturan bahwa wanita harus nerimo (kebetulan keluarga Yani adalah keturunan ningrat).


Nah lho... gimana tuh. Memang kondisi yang saya lontarkan adalah salah satu contoh sepihak versi saya, dari ribuan kondisi yang terjadi. Mungkin memang masih ada kaum wanita yang tertindas. Tapi tetap saja, kesalahpahaman akibat kefanatikan terhadap isme-isme itu bisa berbahaya. Itu sebabnya saya lebih suka kalau bentuk perlawanan tidak lagi menggunakan label feminisme. Kenapa nggak berlandaskan hati-nurani-isme? Lebih nendang gitu lho...

Gimana menurut Anda wahai kaum hawa yang saya cintai? Comment yuuuuuk yaaaa yuuuuk....

2 comments:

celotehalia said...

Yang namanya teori atau konsep atau paradigma atau whateverlah.. selalu seperti pedang bermata dua.
It's simply how you use it.

Feminisme bagi gue merupakan suatu pembebasan bagi wanita untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang sama dengan pria sehingga dapat hidup sejajar dengan pria.

Ketika seorang wanita muda memilih secara sadar untuk menjadi seorang ibu rumah tangga - bagi gue ini menjunjung konsep feminisme. Karena dia memilih sesuai hati nuraninya sendiri.

Lain halnya, kalau ia "dipaksa" utk jadi ibu rumah tangga atau "dipaksa" jadi wanita karir.

Balik lagi soal postingan elo, menurut gue sih itu bukan masalah kekeras-kepalaan wanita feminis tapi lebih ke unreasonable jealousy of a loser.

Yet, as a woman working in a man's world.. i must admit it's true that a woman must work three times harder than a man to get noticed.

Bucin said...

Suatu pandangan teduh dan menenangkan. Tapi kenapa gak banyak yg comment ya? Hiks hiks...