Pages

Friday, July 18, 2008

Kenyamanan Di Tengah Keterasingan

3 hari 3 malam saya habiskan di Maninjau. Ini adalah sebuah desa di wilayah barat Sumatera yang merupakan kampung dari ibu mertua saya. Jaraknya 3 jam perjalanan dari Padang, ibu kota propinsi Sumatera Barat.

Sebuah desa yang mengelilingi sebuah danau. Untuk mengelilingi danau Maninjau membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih perjalanan menggunakan mobil. Diameter danau ini menurut penduduk setempat sekitar 8km. Karenanya wajar kalau di wilayah ini masih terbagi lagi dalam beberapa suku kecil. Istrikuw termasuk dalam garis keturunan warga Koto yang mendiami wilayah Kubu Baru. Karena menggunakan pola matrilineal, keluarga Koto itu didapat dari garis keturunan pihak perempuan. Jadi anak perempuan saya, Zahra Syamila termasuk dalam warga Koto.

Suasana tradisional di desa ini masih kental terasa meski di beberapa area, persentuhan dengan dunia modern sudah terjadi. Saluran televisi; meski tidak semua; tapi sebagian besar bisa didapat menggunakan parabola. Tidak hanya siaran lokal, beberapa siaran negara lain pun bisa tertangkap.

Pola hidup mereka begitu sederhana. Sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian dengan berniaga. Lahan pertanian tidak terlampau luas dan kebanyakan habis dikonsumsi oleh warga setempat. Bidang usaha lain yang sudah setahun lebih menjadi 'trend' adalah beternak ikan di danau menggunakan karamba.

Karamba ini letaknya agak menjorok ke arah tengah danau dan dibiarkan mengapung menggunakan batangan-batangan bambu besar. Satu keramba berukuran sekitar 5x4 meter. Setiap hari, Ilham dan Zahra selalu menyempatkan diri memberi makan ikan-ikan tersebut. 3 kali sehari, pagi, siang dan malam. Satu keramba menghabiskan sepertiga karung makanan yang sekarungnya seharga 170 ribu rupiah. Jadi satu karung itu biasanya habis dalam 3 hari.

Mengingat letaknya yang cukup jauh dari kota, meski tidak sepenuhnya benar, wilayah ini bisa dianggap cukup terasing dari keramaian. Jam 8 malam, jalanan utama sudah sepi. Hanya kendaraan pribadi yang sesekali lewat. Kebanyakan adalah truk kecil yang mengangkut ikan untuk dibawa ke wilayah lain seperti Bukit Tinggi, Padang Kota bahkan Pekanbaru.

Untuk menonton televisi, saya rasa waktu yang tersedia tidak sebanyak kita yang tinggal di perkotaan. Penduduk setempat biasanya sudah bangun pukul 5. Shalat subuh dan kemudian menyiapkan diri untuk rutinitas harian. Bagi mereka yang berdagang makanan, biasanya malah sudah mulai memasak sejak pukul 3 pagi.

Layaknya masyarakat di wilayah yang kecil, mereka semua ramah-ramah. Senyum bukan lah hal yang sulit untuk ditemui. Setiap bertatap muka dengan pendatang, mereka pasti selalu melemparkan senyum. Yah beberapa orang memang masih menatap dengan tatapan asing, tapi yang seperti ini sangat sedikit sekali.

Selama di sana saya sama sekali tidak merasa seperti orang asing. Sebuah situasi yang amat sangat berbeda dengan kehidupan Jakarta yang biasa saya jalani. Dalam bis saja yang duduknya berhadap-hadapan, jangankan bertegur sapa, bertukar senyum saja kita sudah enggan. Sebuah situasi yang seringkali membuat saya merasa terasing di tengah keramaian.

No comments: