Pages

Tuesday, September 30, 2008

Malam 30 September

Setiap malam di hari terakhir puasa saya hampir disibukkan dengan kegiatan yang sama. Beres-beres. Karena besok aktivitas akan dimulai pagi-pagi sekali, kita hampir nggak akan sempat untuk bebenah. Belum lagi kemungkinan bangun telat. Maklumlah, sudah sangat terbiasa dengan last minute job he3x.
Tapi kali ini kesibukan saya agak bertambah karena istri tercinta kena musibah. Kakinya keseleo. Akibatnya dia nggak bisa jalan. Kemana-mana udah kaya suster. Ngesot terus hi3x.
Tapi ya yang namanya kesibukan menjelang lebaran, biar seribet apa pun, tetep aja menyenangkan untuk dikerjakan.
Sekarang anak2 udah tidur pulas, saya juga mau istirahat. Besok harus bangun pagi nih soalnya. Tapi sebelum tidur nyempet2in ngeblog dulu. Demi menjaga eksistensi sebagai blogger (halah..).
Selamat lebaran semua. Semoga anak ibadah kita di bulan ramadhan diterima olehNYA. Selamat liburan.

(posted through my Nokia E51)

Tuesday, September 23, 2008

Si Congor

Teman saya ini memang paling-paling. Mulutnya comel banget. Kalau ada kekurangan yang dia lihat di orang lain, pasti jadi bahan celaan. Udah gitu kalo ngomong suaranya sengaja digede-gedein pula. Sudah dari jaman SMA kelakuannya nggak berubah. Pantes aja kalau teman-teman yang dekat dengan dia menggelari dia Si Congor.

Wait... wait, orang beginian punya teman dekat? Lho nggak usah heran. Kepribadian manusia itu nggak homogen kok. Dibalik kekurangannya, Si Congor sering nolong temen yang kesusahan. Sering membantu tanpa diminta. Cuma ya itu aja, kalau ada orang yang nggak beres, congornya nggak bisa mingkem.

Dulu pernah seorang dosen pengganti mengajar mata kuliah Public Speaking. Penampilan si dosen tamu ini emang kurang representatif sih. Sebagai pengajar Public Speaking yang notabene pasti harusnya sadar akan pentingnya penampilan demi menjaga kredibilitas, cara berpakaian dia emang gak matching. Belum lagi kalau bicara, logat Tegalnya nggak bisa lepas. So, jadilah dia bahan celaan Si Congor. Saya dan beberapa teman sampai nggak tega dengernya. Meskipun ikutan ketawa waktu lihat Si Congor niruin persis gaya dosen tersebut.

Tapi ada satu hal yang saya salut dari Si Congor ini. Pacarnya dari jaman SMA cuma satu dan nggak pernah selingkuh. Hebat ya dia. (Lebih hebat lagi sih ceweknya yang kuat tahan segitu lama ama dia hehehe). Cuma nggak nahannya, mentang-mentang belom pernah nikung kanan-kiri, Congor suaranya langsung menggelegar tiap ngomongin orang yang doyan main api. AD presiden republik Cinta, AA wakil rakyat yang suami penyanyi dangdut, bahkan sampai teman sekantor nggak luput dari curahan liurnya karena ketahuan jalan sama pria lain yang bukan suaminya.

Congor ini sering banget bangga-banggain hubungannya yang udah berjalan belasan tahun dengan pacar pertama yang kemudian jadi istrinya. Kalau udah ngomongin keluarga, ketahuan banget deh kalau buat dia, istrinya nggak akan tergantikan.

Suatu kesempatan, kita harus berhubungan dengan auditor yang disewa dari luar. Karena bertanggung jawab urusan finansial perusahaan, mau tak mau Si Congor harus meluangkan waktu banyak dengan si Mbak auditor yang penampilannya kinclong menawan itu. Kulit putih terawat, rambut lurus teratur, wangi, pokoknya tiap dia lewat, semua cowok-cowok sekantor pada rame besuit-suit.

Tapi nggak buat Si Congor. Dia selalu bilang, ini urusan profesi. Urusan bisnis. Dan dia nggak akan tergoda buat menghianati istrinya. Sampai suatu saat, saya nggak sengaja lihat melalui pintu ruangannya Si Congor nggak tertutup rapat. Di dalam, Si Congor tampak mengelus-elus punggung tangan Si Mbak sambil matanya menatap lekat ke arah Si Mbak yang tertunduk malu.

Hahahahahahaha.... saya tertawa dalam hati dan kembali ke meja saya. Ternyata 3 dari 3 laki-laki itu PERNAH berselingkuh.

Setidaknya itu yang saya percayai sekarang.

Friday, September 12, 2008

Postum - Postingan Tujuh Menit

Kondisi di negara kita memang unik. Atas nama agama, hampir apa pun bisa dijustifikasi.


Di suatu wilayah pernah terjadi, organisasi keagamaan setempat melarang restoran buka sebelum jam 4 sore. Hak asasi non muslim untuk mendapat makanan kapan pun terampas. Lebih parah lagi, hak asasi muslim pengusaha restoran juga turut dikekang.


Di tempat lain, untuk menghadiri acara berskala besar, segerombolan orang berkendara motor membawa bendera atribut, bebas berkeliaran di jalan raya tanpa menggunakan helm.


Di pojok lain, beberapa oknum merusak tempat hiburan karena dianggap sumber maksiat.


Sementara di mimbar-mimbar, beberapa pendakwah masih saja ada yang menyebarkan kebencian dan berburuksangka terhadap kegiatan sosial agama lain.


Pada kesempatan lain, beberapa orang yang mengaku mubaligh sibuk mendulang emas dengan memasang tarif tinggi selama bulan yang penuh kesucian ini.


Tidak.... tidak. Saya tidak dalam emosi marah, kesal atau benci. Prihatin mungkin kata yang lebih tepat. Kadang saya jadi begitu bersukur karena bukan termasuk dalam kelompok "orang Islam". Saya adalah penganut ajaran yang sarat dengan nilai keislaman. Sebuah jalan yang jika dilalui dengan benar, seharusnya bisa membawa keselamatan dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya pemeluknya saja.

Tuesday, September 09, 2008

Guru oh Guru



Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pepatah itu sangat beralasan. Sebagai individu yang intensitas pertemuannya dengan murid cukup sering (sangat sering bahkan), guru merupakan sosok yang berpengaruh kuat dalam pengembangan kepribadian dan intelegensia murid. Bahkan ada kejadian dimana seorang murid lebih menyukai gurunya ketimbang orang tua kandungnya (fenomena temporer sih, tapi cukup memprihatinkan).

Saya sendiri pernah mengalami kondisi seperti itu. Balik ke jaman SMP 10 tahun silam, guru biologi saya begitu cantik. Saya jadi seneng sekali mendapat pelajaran dari beliau.

Lho, kok jadi melenceng topiknya?

Kembali mencoba serius.

Masa SD dulu, saya takut sekali dengan yang namanya guru. Saat itu, guru punya otoritas yang cukup luas. Tangan digetok penghapus papan tulis gara-gara lupa potong kuku, pinggang dicubit gara-gara seragam gak dimasukin, sampai pada pecutan gagang bulu ayam karena telat sekolah (bekasnya ampe merah lho... beneran sakit!); adalah hal-hal yang lazim diterima. Nggak ada komplen, nggak ada ngadu-ngadu ke orang tua.

Bagaimana kalau perlakuan seperti itu sekarang terjadi ke anak-anak kita? Saya rasa hampir sebagian besar pasti nggak setuju. Pola pendidikan jaman dulu yang mengutamakan rasa takut dalam membentuk kedisiplinan ternyata lebih banyak mengena di wilayah permukaan tanpa menyentuh inti. Pendek katanya, murid jadinya cuma takut sama guru di sekolah, di luar sekolah guru jadi nggak keliatan berwibawa.

Yang perlu dibentuk di sini adalah kesadaran. Melatih murid supaya mengerti dan bisa berpikir sehingga bisa menentukan mana yang baik dan mana yang harus dihindari. Sengaja variabelnya tidak linear karena yang harus dihindari itu belum tentu nggak baik (buat pelakunya).

Di rumah pun saya dan istri selalu berusaha melatih anak supaya hormat pada orang tua dan guru tanpa harus membuat mereka takut mengutarakan pendapat jika merasa benar. Sejauh ini lumayan berhasil meskipun tetap saja di beberapa kesempatan, mereka nakal (namanya juga anak-anak).

Nggak cuma sama orang tuanya, dari obrolan-obrolan istri saya dengan sesama orang tua murid, belum pernah sekalipun ada yang mengajukan komplen kalau anak saya bersikap kurang ajar. Mereka cukup takut jika melanggar aturan sekolah. Saking takutnya, saya kadang malah yang ngajarin untuk sedikit "nakal" :p.

Intinya adalah, anak saya cukup bisa menerima bentuk teguran jika mereka melakukan kesalahan. Tanpa harus dimarahi secara berlebihan, mereka bisa mengerti bahwa apa yang dilakukan itu adalah sebuah kesalahan.

Karenanya saya jadi begitu berang saat mendengar anak saya mendapat perlakuan yang berlebihan. Seperti yang baru saja terjadi pagi ini. Hanya karena tidak mengenakan pakaian muslimah, Zahra dipanggil ke depan kelas, kemudian sang guru bertanya pada murid-murid lain "Apakah ini yang namanya pakaian muslimah?". Pertanyaan retorik yang nggak perlu ditanyakan pada anak berusia 7-8 tahun karena mereka tentu saja serempak menjawab "TIDAAAAAAAAK....".

Di depan 40-an murid lain, Zahra harus menanggung malu karena kelalaian orang tuanya. Padahal guru tersebut bisa saja memberi surat teguran yang nantinya juga akan kita baca. Padahal beliau bisa saja memanggil ibunya (yang memang setiap hari nungguin di sekolah) lantas bicara baik-baik.

Memprihatinkan sekali kualitas pendidikan di negeri ini. Andai saja semua guru bisa seperti Ibu Muslimah....

Sigh... (mengurut dada).

Monday, September 08, 2008

Musibah = ujian?

Saat orang tertimpa musibah, reaksi pertama yang muncul dalam diri kita biasanya sama. Kasihan. Kenapa kita merasa kasihan? Apakah karena kita saat itu sedang bernasib lebih baik dari yang terkena musibah? Hm.... secara tidak langsung, sepertinya rasa kasihan kita itu sudah merupakan tindakan pengastaan. Kasta keberuntungan kita lebih tinggi dari orang tersebut. Wah, kesannya jadi agak sombong ya?

Tapi bukan itu inti permasalahan yang mau saya bahas. Saat ini saya tertarik mengulas sudut pandang yang melandasi rasa kasihan itu. Kita kasihan karena menganggap bahwa orang yang kena musibah tersebut sedang diuji oleh Tuhan YME. Karena itu pula reaksi pertama kita adalah mengungkapkan empati dan meminta yang bersangkutan untuk bersabar.

Bener nggak sih pendapat saya? Setidaknya itu adalah hal yang paling sering saya lihat dalam keseharian.

"Wah kasihan ya si X, hanphonenya hilang."
"Lebih kasihan lagi si Y, handphone sama blackberry yang hilang."
"Itu sih nggak seberapa, si Z paling kasihan deh, satu tas hilang. Isinya handphone, blackberry, notebook, dompet!"

Lama-lama saya bosan. Apa iya sih modus operandi-nya Tuhan selinear itu? Musibah = ujian? Bagaimana seandainya musibah yang terjadi itu bukan ujian. Melainkan teguran?

Buat saya jadi lebih menarik. Ketimbang menganggap musibah sebagai ujian yang ujung-ujungnya cuma membuat kita menjadi sabar, saya lebih suka menganggap musibah itu sebagai teguran.

Jadi... seandainya terjadi musibah, mari kita coba menengok ke belakang dan mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah kita lakukan atau kekurangan apa yang belum kita lakukan sehingga musibah itu datang. Iya... introspeksi.

"Eh, si X handphone-nya hilang lho... pasti karena dia suka make hp-nya buat SMS-an sama selingkuhannya."
"Eh, si Y handphone sama blackberrynya hilang... apa karena hasil korupsi ya?"
"Wah, si Z satu tas hilang semua! Kualat sih, orang tua sakit nggak pernah ditengokin."

Kelihatan lebih dinamis kan? Selain tetap bersikap sabar dalam menghadapi musibah, kita juga melakukan evaluasi. Moga-moga sih setelah melakukan evaluasi itu, kita bisa memperbaiki diri dan bisa terhindar dari musibah-musibah berikutnya yang akan datang.

Bagaimana seandainya kita udah berusaha jadi orang baik tapi tetap kena musibah? Yakin udah jadi orang baik? Kodratnya manusia itu nggak luput dari salah dan dosa lho.... :)

Thursday, September 04, 2008

Mau jualan ke konsumen apa klien?

Dalam sebuah perbincangan dengan seorang kerabat, dia menceritakan bagaimana uniknya bekerja dalam industri periklanan ini.

Pada sebuah presentasi, apa yang terjadi sangat bertolak belakang dengan prediksi agency tempat teman saya bekerja. Kampanye yang diunggulkan ternyata mendapat penolakan dari klien sementara kampanye yang menurut mereka lemah, justru sangat disukai oleh klien.

Padahal sebelum membuat keluaran kreatif (creative output) mereka sudah melakukan riset kecil-kecilan terlebih dahulu. Menggali insight-insight (ini bahasa Indonesianya apa ya?) terhadap konsumen. Mencari tombol merah panas (red hot button) yang bisa menjadi poin masuk (entry point) -- halah... terjemahan bahasanya malah makin ngaco -- sehingga merasa menemukan formulasi yang tepat untuk menjual produk yang diiklankan.

Tapi ya itu tadi, jauh panggang dari api. Selera klien ternyata menuntut beda. Salahkah klien? Belum tentu. Mereka berhasil mempertahankan eksistensi brand/produk selama puluhan tahun. Jelas mereka lebih mengerti bagaimana cara menjual produk tersebut.

Seandainya kalian yang berhadapan dengan kondisi seperti ini, untuk pengerjaan berikutnya apakah proposal yang diajukan akan berdasarkan fakta-fakta dan riset atau disesuaikan aja dengan maunya klien?