Pages

Friday, March 28, 2008

RAY the GIANT


Click image for larger view.

Ray Doodoh,

Saya ketemu dia cuma sebentar. Kebetulan kita satu tim di sebuah biro iklan berlokasi dekat satu sekolah menengah kejuruan di Jakarta yang konon salah seorang alumninya adalah anak mantan orang nomor satu di negeri ini. --> pendahuluan yang nggak penting! :p

Cuma sekitar 3 bulanan kita ketemu. Saya yakin sebagian kaliah mungkin kenal dia lebih lama. Meskipun se-tim, kita megang brand yang beda. Dia pegang merek salah satu penyedia GSM, saya megang tangannya ............ tiiiiiiiiiiiiiit..... (maaf, atas alasan tertentu nama harus dirahasiakan -- halah, makin nggak penting!).

Dalam waktu yang demikian singkat itu, kebetulan sekali kita punya intensitas obrolan yang cukup tinggi. Bukan karena kita langsung akrab, bukan juga saya yang sok akrab. Semata karena keramahan Ray yang bikin siapa pun akan betah ngobrol panjang lebar dengan dia. Kepribadian dia yang hangat cukup bertolak belakang dengan tampang agak galaknya dia yang didukung postur badan cukup besar (saya mungkin hanya 3/5 bagiannya Ray). Makanya dia kita panggil Giant, nama salah satu karakter dalam komik Doraemon.

Satu hal yang saya ingat betul, Ray itu jarang sekali tersinggung, apalagi marah. Bahkan saat namanya kita becandain dengan cara dieja, DE-O-DO... O-DE-O-HA-ODOH... DOODOH. Dia malah ikut-ikut ketawa, padahal kita sering banget ngeledek kaya' gini.

Setelah pisah kantor, kita kadang masih kontek-kontekan (kalau katanya Cinta Laura mungkin... keep in touch). Dari komunikasi yang terjalin lewat kotak ngobrol (chat box) itu saya makin tahu karakter Ray. Dia sama sekali nggak pernah mau ngomongin kejelekan orang. Bahkan orang yang udah terkenal jelek sekalipun. Padahal jelek itu absolut ya, cakep baru relatif --- huhuhuhu, pasti pada komplen karena postingan ini makin crispy.

Hingga akhirnya saya dengar kabar kalau Ray didiagnosa mengidap leukimia. Saat itu dia bahkan sempat mendapat perawatan intensif. Saya kaget sekali mendengar berita itu. Sebagai teman, saya saat itu mendoakan supaya Ray cepat sembuh.

Alhamdulillah, selang beberapa bulan, YM-nya Ray nyala lagi. Kita pun kembali terhubung. Dengan keramahan yang sama, semangat yang sama, dia menceritakan sekilas pengalamannya semasa dalam perawatan. Nggak ada keluhan, nggak ada kesedihan. Ray, ternyata punya jiwa yang besarnya melebihi ukuran badannya yang udah segede Gaban itu.

Karena kesibukan masing-masing, kita makin jarang berkomunikasi. Saya bahkan nggak sadar kalau id YM Ray sudah lama sekali tidak aktif. Sampai suatu ketika ada kesempatan ngelongok blognya Glenn. Dalam salah satu postingannya, Glenn cerita soal Ray yang ternyata kondisinya kembali melemah. Dokter menyarankan untuk melakukan transplantasi sum-sum tulang belakang (kalau salah, mohon dibetulkan, saya juga tidak paham benar), itu pun untuk mendapatkan peluang sembuh 50%.

Dari cerita mereka yang masih intens berhubungan dengan Ray, semangat Ray nggak pernah surut. Apa pun dan bagaimana pun caranya, dia akan terus berusaha meraih kesembuhan itu. Bukan buat dirinya sendiri, tapi juga demi Linda (istrinya) dan demi 2 buah cintanya; Davina & Samuel.

Dalam waktu dekat, transplantasi akan segera dilakukan. Mari sama-sama kita doakan supaya Tuhan memberi yang terbaik untuk Ray dengan mengembalikan kesehatan dia seperti semula.


"Ray, jangan pernah patah semangat ya. Gue tahu, elo nggak akan pernah menyerah. Simply because you are the Giant. Our beloved Giant.

Cepet
sembuh bro..."

Thursday, March 20, 2008

Gadis Di Gerbong Kereta Itu Bernama Yani



Siang itu, perjalanan dari Kota menuju Tebet, saya memutuskan untuk naik kereta api. Pertimbangannya jelas, lebih ekonomis, nyaman (pakai AC) dan bebas macet (sebuah masalah klasik yang tetap saja selalu bikin sakit kepala saat harus terjebak di tengah-tengahnya).
Ternyata nasib berkehendak lain. Kereta AC yang tiketnya sudah saya beli, baru akan datang 45 menit lagi. Saya nggak punya kemewahan untuk membuang waktu menunggu selama itu. Saya pun memilih naik kereta yang sudah siap berangkat, kelas ekonomi non-AC.

Selama perjalanan, duduk di seberang saya, arah jam 2, seorang bapak dengan anaknya. Pita penjepit rambut yang tersemat di kepalanya jelas menunjukkan ia seorang anak perempuan.
Sepanjang perjalanan, anak itu tetap terlihat begitu menikmati pemandangan lewat pintu gerbong yang selalu menganga lebar. Saat seorang penjaja jeruk lewat, anak itu meminta bapaknya untuk membeli satu buah. Sang bapak memilih, membayar dan lantas memberikan jeruk pada anaknya. Senyum lebar sang anak jelas menunjukkan kebahagiaannya. Dikupasnya jeruk itu dan dinikmatinya gigitan demi gigitan.

Tidak ada yang istimewa memang dari scene tersebut. Adalah lumrah jika seorang bapak sayang pada anaknya. Yang membuat moment itu jadi istimewa adalah saat saya memberanikan diri berbincang dengan bapak tersebut.

Suhandi
nama bapak itu. Putri tercintanya bernama Yani, 7 tahun. Pada umur 4 tahun, sebuah benjolan kecil tumbuh di wajah Yani. Benjolan itu membesar hingga seperti sekarang. 6 bulan lalu, pak Suhandi memeriksakan Yani ke RS Cipto. Berkat fasilitas Askeskin, dia tak harus terbebani biaya pengobatan. Tapi kenyataan pahit harus dia hadapi. Menurut analisa dokter, jika tindakan operasi dilakukan, bisa membawa kebutaan total bagi Yani. Bagai makan buah simalakama, pak Suhandi pun tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Percakapan terhenti karena kereta telah berhenti di setasiun tujuan saya. Dengan meminta ijin terlebih dahulu, saya bergegas memotret Yani dan bapaknya.

Dalam mikrolet, sebuah pikiran negatif melintas dalam kepala saya, "Mungkinkah diagnosa dokter itu ala kadarnya karena faktor ketidakmampuan pak Suhandi menanggung biaya pengobatan?". Ah entah lah, lebih baik berpikiran positif dengan menganggap bahwa dokter itu telah melakukan pertolongan semaksimal yang dia mampu.

Saya lantas berandai-andai, "Mungkin nggak kalau ada pihak yang mau mendanai pemeriksaan Yani secara lebih layak? Bisakah hasil diagnosa dokter yang dibayar sesuai rate normal bisa memberi kemungkinan yang lebih baik?"

Oh ya, saya masih belum menceritakan hal yang membuat peristiwa di gerbong tadi jadi begitu istimewa buat saya. Sederhana sekali. Kebahagiaan pak Suhandi berjalan-jalan dengan putrinya begitu wajar. Kondisi yang dihadapi Yani tidak membuat pak Suhandi seakan minta dikasihani. Mereka pun tak peduli dengan tatapan penuh kasihan beberapa orang dalam gerbong itu saat melihat Yani.

Aaah begitu menyejukkan. Kebahagiaan memang hanya masalah mindset. Itu pilihan dan kita sendiri yang menentukan. Terima kasih pak Suhandi dan Yani, atas makna berharga yang bahkan kalian sendiri tidak sadar telah mengajarkannya pada orang lain.


PS
Jika ada yang bisa membantu, pak Suhandi bisa dihubungi di alamat berikut:
Pondok Gede/Pondok Melati
Gg. Sasak Jikin No.9
RT02 RW05
Atau bisa dihubungi lewat telepon adik iparnya, Riswandi di nomor 9889-7848