Pages

Monday, July 31, 2006

Diam = Emas ?

Kamu setuju dengan pendapat itu bahwa diam adalah emas? Saya sangat setuju. Tentu saja kalau kita perlu bicara, kita tetap harus angkat suara. Tapi untuk situasi-situasi yang belum pasti, saya cenderung untuk memilih diam.

Beberapa hari ini, kejadian bertolakbelakang adalah hal yang saya alami. Saya berada pada titik di mana ke-diam-an justru bukan lagi emas. Zahra Syamila, anak bungsu saya, sudah 3 hari melakukan gerakan tutup mulut. Tak lagi banyak celoteh keluar dari mulut mungilnya yang terjepit dua pipi gembil. Tak ada lagi nyanyian-nyanyian sumbang tapi selalu terdengar merdu untuk saya. Tak ada lagi teriakan-teriakan penuh kekesalan saat dia jadi korban kegemasan saya. Dia bahkan berhenti melakukan kegiatan favoritnya: ngemil.

Jamur mulut. Begitu kata dokter. Saya sendiri nggak gitu paham. Tapi kondisinya cukup mengenaskan. Sepertiga bagian bawah lidah Zahra, kulitnya terkelupas. Seperti melepuh. Akibatnya, minumpun menjadi siksaan untuknya. Perut endutnya yang hampir selalu keras, kini mengempis. Yang lebih menyiksa adalah saya kehilangan keceriaannya yang selalu menjadi penyemangat saat saya mau berangkat kerja. Keceriaan yang juga jadi pendorong kangen untuk bisa cepat-cepat pulang ke rumah. Keceriaan yang bisa jadi es pendingin panasnya kekesalan saat saya dan istri bertikai.

Di awal minggu ini, saya kehilangan separuh semangat hidup.

Hiks...

(Cepat sembuh ya nak.)

Friday, July 14, 2006

Kaya'nya ada yang kurang deh, tapi apa ya...?

Istrikuw tercinta (carmuk dikit ma istri :p) sering minta pendapat mengenai masakannya.

"Yang, cobain dong... kurang apa?"

Sesendok kecil masakan pun masuk ke mulut. Saya mengecap, diam sesaat, mata melongok-longok ke atas dan samping. Pura-pura mikir bentar lalu ujung-ujungnya komen yang keluar standar juga.

"Enak sih, tapi ada yang kurang deh. Tapi apa ya?"

Pernah nggak sih ngalamain situasi seperti itu? Saat semuanya serasa sudah pada tempatnya, tapi tetap terasa ada yang kurang. Sekalipun banyak upaya diusahakan, tetep aja kekurangannya nggak ketahuan.

Tambah garam, jadi keasinan.

Tambah air putih, agak hambar.

Masukin kecap... kemanisan!

Sambelin aja! Wah... pedes.

Kasih vetsin... duuh artificial sekali rasanya.

Sepertihalnya mencicip masakan, belakangan saya kok makin sering ngerasain hal yang serupa ya? Kaya'nya masih ada yang kurang, tapi nggak tauk apanya. Parahnya itu terjadi di hampir semua sendi kehidupan (hayah... istilah apa pula ini?).

Kamu pernah merasa seperti itu?

Apa yang kamu lakukan?

Thursday, July 06, 2006

Suatu hari di sebuah pertokoan




Tidak ada yang beda di hari itu. Hari Minggu yang sama dengan minggu-minggu sebelumnya. Mungkin saja akan terus sama dengan minggu-minggu yang lain. Kebetulan saja hari itu saya menemani istri berbelanja di sebuah pertokoan. Kebetulan juga hari itu ramai sekali. Begitu ramainya sehingga suasana di pertokoan itu tidak jauh beda dengan pasar. Orang berdesak-desakan mendorong trolly, permisi sana permisi sini meminta jalan.

Saya dan istri tetap dengan ritual bulanan. Mendorong trolly melewati lajur-lajur yang menjejerkan bermacam-macam produk dengan bermacam-macam merek pula. Lihat check list, ambil barangnya, taro’ di trolly dan kemudian lanjut ke lajur berikutnya.

Bermacam-macam produk melakukan promo. Beli ini gratis itu. Beli satu dapat satu setengah. Segala cara diusahakan untuk menarik minat konsumen untuk memilih produk yang dipromosikan. SPG, wobler, poster, sticker, flag chain, hanging mobile, activation... huaaaaaah bejibun! Semua nyaris menawarkan hal senada. Nilai lebih!

Istri saya sama saja dengan tipikal konsumen Indonesia lainnya. Milih yang paling murah, milih yang berhadiah. Common sense yang nggak bisa dibantah. Itu sudah jadi naluri kita. Begitu pula saat membeli pembasmi serangga, pola serupa pun terulang. Ada merek terkenal dengan harga sedikit lebih mahal. Istri saya memilih merek lain yang menawarkan hadiah jika membeli dalam kuantitas tertentu.

Melihat hal tersebut saya langsung terpikir, pantas saja klien lebih suka bikin iklan yang sifatnya instan. Tactical atau ad-hoc kata sebagian orang. Saya sendiri nggak gitu ngerti terminologi tersebut.

“Pasang segini, hasilnya berapa?” adalah pertanyaan yang selalu dilontarkan kebanyakan klien. Saya pun bersorak. Mari beramai-ramai memasuki dimensi jual-keras (hard sell). Persetan dengan merek. Yang penting umbar janji-janji surga melalui USP, dukung dengan hadiah, tambahin lagi dengan harga spesial. Boom. There you go. Consumers can’t go anywhere. (Sok nginggris kamu Cin! Biarin lah... secara once-once gitu loh.; baca: sekali-sekali).

Tapi ada satu hal yang kerap terlupakan (atau sengaja dilupakan?). Bahwasanya saat memilih produk pembasmi serangga tersebut, hadiah atau pun potongan harga yang ditawarkan bukanlah satu-satunya indikator yang mendorong istri saya memilih produk. Balik-balik lagi dia tetap memilih merek yang bisa dipercaya. Jadi prioritas utamanya adalah merek, lalu promo. Brand comes first, the next is about gimmick. Aaaaah, ternyata kekuatan sebuah merek (the power of brand) tidak benar-benar mati di era yang pragmatis ini.

Kenapa saya berkesimpulan seperti ini? Sederhana saja. Di situ banyak merek lain dengan penawaran lebih menarik dengan potongan harga lebih besar pula. Tapi istri saya tidak tergoda. Dia tetap mengutamakan merek. Mungkin itu juga sebabnya dia tetap memilih saya ketimbang pria lain yang lebih menjanjikan. Karena merek saya lebih kuat (ta’elah gayamu Cin... Cin). :p

Tiba-tiba saya jadi tertarik mengamati sekitar. Di panjangnya antrian menuju konter kasir, mata saya tak lepas dari trolly atau keranjang belanjaan orang lain. Bagaimana gaya pembeli? Karakter mereka seperti apa? Merek apa yang mereka pilih untuk produk tertentu? Waaaah... seru banget. Ternyata mengamati perilaku pembelian (purchasing behaviour) memang nggak semudah menghitung penjumlahan (1+1)x5 = berapa? (lho kok malah nanya). Semua orang memiliki pemilihan yang berbeda-beda.

Mereka sekarang jadi tampak seperti tebaran-tebaran jawaban puzzle mengenai merek. Menunggu untuk dipelajari, menunggu untuk digali lebih dalam, menunggu untuk dimengerti. Wuiiiih asik ya ternyata.

Wahai para jawaban puzzle, tunggu saya setiap hari. Takkan lagi ada waktu tersia-sia dengan membiarkan kalian berlalu begitu saja. Kalian akan saya tangkap, saya olah lalu saya jadikan petunjuk atas kegalauan yang selalu muncul setiap ingin membuat rencana komunikasi (communication strategy kata si bule). Kalian, ya kalian yang tersebar di jalan, di perkantoran, di hotel, di mall, di pasar, di semua tempat! Tunggu saya!

“Istriku, kita belanja bulanan bareng lagi ya.....”.