Pages

Wednesday, June 21, 2006

GiBol

Emang lagi musimnya, apa mau dikata. Semua sudut pandang terjejali informasi tentang Piala Dunia. Ya... pesta masyarakat sedunia 4 tahunan ini memang jadi moment yang paling ditunggu-tunggu. Sebuah ajang yang mampu menembus batas gender, kelas sosial, ras, agama... pokoknya semua batasan dan pagar yang sering membuat manusia hidup dalam pengotakan. Ah dunia memang sedang GILA BOLA.

Sementara di sisi lain, kehidupan juga berjalan sebagaimana mestinya. Di JaTeng, saudara-saudara kita masih tetap menunggu uluran tangan. Di SulSel baru saja terjadi musibah banjir dengan catatan sementara 38 korban jiwa + kerusakan fasilitas irigasi senilai miliaran rupiah, sebuah merek pembasmi serangga sedang heboh ditarik dari peredaran karena mengandung bahan berbahaya, konflik Tamara-Rafli makin panas, Miami Heat sementara mengungguli Dallas Maverick 3-2 di final NBA, proses persidangan kasus suap di Mahkamah Agung bergulir sepoi-sepoi basah, EBTANAS SMA yang bikin stress banyak murid-murid, anak saya yang kelas II SD sudah memasuki hari ke-3 ulangan umumnya, dan lain-lain... dan lain-lain.

Life goes on... dan pada akhirnya nanti, GiBol ini pun akan jadi sebuah bahan perbincangan saat makan siang yang kemudian memudar, lamat-lamat, lalu hilang. Hidup pun kembali berputar pada rodanya. Memutar-balikkan keseharian kita dengan kebahagiaan-kesedihan, keberhasilan-kegagalan, kebaikan-keburukan. Sementara itu, nikmati saja dulu tontonan panggung dunia yang sedang terjadi di Jerman. It's worth to watch... event by sacrifying my resting time.

Monday, June 05, 2006

Dunia Bergerak Sejajar

Ketika ditanya, apa persamaan situasi dunia dengan tragedi gempa di Jawa Tengah? Mungkin jawabannya sangat beragam. Sebagian besar malah mempertanyakan, di mana letak persamaannya. Satu skalanya global, satu lagi cuma berupa propinsi kecil di Indonesia. Satu menyangkut harkat hidup ratusan juta manusia, satu lagi masih dalam skala juta-an. Kecuali sisi kemanusiaan yang tidak mengenal kuantitas, tentunya sangat sulit menemukan persamaan antara situasi dunia saat ini dengan tragedi yang terjadi di Jawa Tengah.

Tapi entah kenapa, saya banyak sekali menarik pelajaran dari tragedi kali ini. Sepertinya musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Jawa Tengah merupakan potret kecil dari gambaran situasi dunia saat ini. Ketika kondisi sosial politik dan ekonomi dunia sedang morat-marit, dibutuhkan lebih dari sekedar empati dan simpati. Keprihatinan yang cuma sebatas rasa menjadi kurang bermakna. Teriak sana-sini hanya merupakan wujud simpati yang lebih didominasi pencarian popularitas pribadi. Solidaritas yang berkesan dipaksakan. Apa yang terjadi di Jateng ibaratnya seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah kena musibah, jadi bahan tontonan. Perih.

"Kami butuh belas-kasihan tapi tidak minta dikasihani!" atau "Kami bukan tontonan" adalah pernyataan sederhana yang lahir dari jeritan hati terdalam. Untuk kondisi seperti sekarang ini memang yang mereka butuhkan adalah langkah kongkrit dari semua pihak. Wujud keprihatian berupa kunjungan seremonial hanya menambah dalam luka yang sudah menganga. Ini kah potret bangsa kita? Jika iya, saya benar-benar malu. Malu karena juga jadi bagian dari mereka yang hanya bisa sebatas kasihan dan berusaha menyalurkan sumbangan yang tidak terlalu besar nilainya, sementara puluhan bahkan ratusan orang telah bergerak seirama menyalurkan bantuan langsung pada yang membutuhkan.

Sepertinya ada paku besar bernama "pekerjaan" yang memaksa saya untuk merasa tidak bisa berbuat lebih. Ada tali kuat bernama "rutinitas" yang menjerat hingga saya cuma bisa sebatas mendoakan. Tanpa mengecilkan arti sebuah doa, tapi apa perlu saya mendapat undangan dengan pesan bertuliskan "Tanpa mengurangi rasa hormat, kami akan sangat berterimakasih jika rasa solidaritas tidak hanya berbentuk belas-kasihan dan keprihatinan". Mengapa aktivitas harian ini menjadi lebih penting? Apakah tanggung-jawab terhadap profesi lebih bernilai sehingga saya tak mampu meminta cuti beberapa hari saja agar bisa datang ke sana dan mengulurkan tangan secara langsung?

Semoga tamparan kali ini cukup bisa memaksa saya untuk menyadari bahwa dunia lebih butuh orang yang mau berbuat ketimbang orang dengan keinginan besar tanpa ada tindakan. Semoga saya bisa terus mengingat janji-janji yang tak terpenuhi serta cita-cita yang sudah lama terbengkalai untuk bisa menjadikan hidup ini lebih nikmat untuk dijalani.

Seperti halnya saudara kita di Yogya, dunia ini lebih membutuhkan orang-orang yang memiliki keinginan dan mampu merealisasikannya ketimbang mereka yang sibuk komentar sana-sini. Seperti juga dengan industri iklan saat ini.

Dunia memang sedang bergerak sejajar. Dengan masalah yang berbeda tapi dengan solusi yang sama: TINDAKAN!

Saturday, June 03, 2006

Gap akademi & praktek, di mana kunci permasalahannya?

Dalam suatu obrolan ringan, salah seorang designer meminta pendapat mengenai print-ad yang dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah.

“Mas, komenin print ad gw dong”

Setelah melihat-lihat, saya gak ngerasa ada yang salah dengan iklan itu. “Ini utk tugas kuliah apa?”

“Etika Periklanan”

“Obyektifnya?”

“Bikin contoh iklan by brand leader yang gak melanggar etika”

Deg... saya bingung. Membuat iklan yang tidak melanggar etika? Itu kan gak perlu mikir. Bikin aja iklan yang biasa dan aman2. Beres.

Lalu, di mana manfaat memberi tugas seperti itu?

“Itu dosennya yang minta?” tanya saya.

“Iya”

Hayah. Kenapa dosen itu gak meminta mahasiswa/i-nya utk membuat tugas yg lebih mikir. Misalnya... “bikin iklan rokok yang dari visualnya bisa bikin orang langsung tau kalo ini iklan rokok tanpa memperlihatkan produk” --> black capucino versi cangkir can be a great example. Atau “bikin iklan yang promisenya ini produk nomor satu, tanpa harus mempergunakan kalimat/kata2 superlative”. Kaya’nya tugas2 menantang gitu bisa memancing mahasiswa/i utk berpikir lebih dalam lagi.



Dalam kasus lain, saya pernah kerja bareng 2 anak magang. Satu dari universitas negeri ternama (calon sarjana), satu lagi dari institusi pendidikan swasta (calon diploma). Dari ngobrol2, si mahasiswa negeri ini keliatan punya pemikiran yang lebih dalam. Tapi saat diminta bikin copy, buatan mahasiswa calon diploma jauh lebih bermain dan nyaris matang. hadoooh, piye tah?

Saat industri lagi “kacau-balau” seperti ini, sudah saatnya lembaga2 pendidikan lebih memfokuskan pada penyediaan sdm yang siap pakai. Paradigma “know little bout many thing” sudah harus diubah jadi “know more bout one thing” karena ini justru lebih tepat dengan kebutuhan industri.

Duduk bareng antara praktisi dan akademisi dan kemudian menentukan kurikulum pendidikan yang lebih tepat mungkin bisa jadi satu solusi. Kalau pun ini sudah dilakukan, semestinya masih harus dievaluasi kembali mengingat sampai sekarang masih banyak sarjana-sarjana yang lebih bangga akan gelar kesarjanaannya tanpa mawas diri akan kemampuan (skill).

Tapi pertanyaannya kemudian adalah “siapa yang mulai duluan?”. Sepertinya ada tembok yang memisahkan antara akademisi dan praktisi. Tembok itu bernama gengsi. Sementara akademisi rata-rata minimal S2 sedangkan praktisi rata2 “cuma” S1. Masing2 pihak masih terjerat dengan ego masing2. “Ah, si X kan cuma menang pengalaman, disuruh ngajar belum tentu bisa”. “Ih, dosen itu tinggi gelar doang. Mana ngerti ama keseharian kita?”. Ya kerjasama dong kalo gitu. X sharing experience, dosen nyari cara gimana merumuskan itu dalam sebuah kurikulum pendidikan yang bisa dicerna pelajar dengan lebih mudah.

Semoga ilustrasi di atas cuma kekhawatiran pribadi saya dan bukan kenyataan yang sesungguhnya. Tapi... apa iya begitu?