Pages

Wednesday, May 10, 2006

Karena Cukup Tak Pernah Cukup

Masalah gaji adalah persoalan yang pasti akan memancing banyak pendapat dari sisi berbeda. Kenapa topik ini begitu menarik untuk didiskusikan? Yang pasti karena ini adalah masalah confidential. Dimana-mana, urusan yang sifatnya rahasia-rahasiaan pasti menarik keingintahuan banyak orang. Si Anu gajinya berapa ya, si Itu gajinya pasti gede, gue kaya’nya underpaid deh. Ujung-ujungnya sih biasanya selalu berakhir dengan ketidakpuasan atas apa yang udah diterima.

Cakram pernah memuat artikel mengenai range sallary pekerja-pekerja iklan lokal. Bisa dibilang bahwa angka-angka yang muncul di situ adalah sangat membahagiakan seandainya memang standar gaji orang iklan sesuai dengan apa yang tercantum. Tapi masalahnya kan nggak bisa sesederhana itu. Secara kapabilitas dan kualifikasi pekerja iklan di sini juga belum merata. Fresh graduate di agency X, belum tentu sama dengan di agency Y. Senior di A, belum tentu bisa memenuhi kualifikasi senior di B. Jadi sebelum kita bikin standarisasi gaji, sebelumnya kita harus jelas dulu mengenai term & conditionnya. Indikator apa yang akan digunakan sebagai penentu bahwa seseorang sudah pantas dihargai lebih tinggi. Ini aja di masing-masing tempat pasti nggak bakalan sama.

Kemampuan perusahaan untuk membayar juga perlu kita pertimbangkan sebelum menentukan seberapa pantas seharusnya kita dihargai. Sebagai ilustrasi, seorang teman saya pernah mendapat gaji 50% di atas saya, dengan jabatan yang sama. Tapi setahun kemudian saat ada gonjang-ganjing industri, tempatnya bubar karena overhead cost terlalu tinggi. Di agency lainnya, seorang senior bisa bergaji lebih kecil dari yang levelan biasa aja di agency tetangga. Tapi turn over karyawan di agency itu minim banget dan secara bisnis agency itu sangat mapan karena memiliki fundamental finansial yang cukup kuat untuk men-support mereka di saat krisis. Nah lho... pilih mana? Maunya pasti milih bergaji besar dalam institusi yang mapan. SIAPA YANG NGGAK MAU KALO GITU MAH?

Jadi... kalau boleh usul, sebelum yakin berasa underpaid, coba deh compare sama temen-temen di tempat lain. Tapi komparasinya jangan apple to apple juga. Banyak hal yang bisa jadi pertimbangan. Misalnya:
- kedekatan dengan pimpinan
nggak bisa dipungkiri, semakin baik hubungan semakin terjamin kesejahteraan; tapi gak perlu ampe carmuk lah,
- kesesuaian kemampuan dengan kebutuhan kantor
biar kata kita jago banget bikin iklan yang award winning tapi kalo gak sesuai sama gayanya tempat kerja kita, sama aja bo’ong,
- penampilan
meskipun bukan segalanya, nggak bisa dipungkiri penampilan juga punya peran penting untuk mendukung harga kita,
- budaya kerja
gak cuma sekedar never miss the deadline, bekerja efisien dan efektif berarti kita bisa memaksimalisasi output saat jam kerja sehingga bisa mengurangi overtime,
- ownership
semakin tinggi keterlibatan kita dalam kerjaan-kerjaan di kantor, insya Allah semakin dihargai,
- last but not least... always give more than what we’re expected
kebanyakan kita cuma mau memberi sebatas yang kita terima, akibatnya perusahaan melihat kemampuan kita cuma segitu-gitu terus.

Misalnya itu semua udah terpenuhi dan kita secara faktual ternyata memang underpaid, ya udah... cari aja tempat lain. Ngapain nyiksa diri berbakti untuk perusahaan yang nggak bisa menghargai karyawannya. Tapi perlu diingat, in the end, when it comes to money... there will never be enough. So, please think deeply and throughly sebelum kita ngambil keputusan.
Good luck!


PS
ini edisi revisi. Thx buat Glenn atas komennya.

Monday, May 08, 2006

Happy 1st Anniversary

Nggak terasa, udah setahun saya gabung dengan tempat sekarang. Setahun yang penuh deraan dan penempaan. Bisa dibilang hampir semua yang saya dapat mengenai iklan dan segala seluk-beluknya adalah baru sampai pada dasar/permulaan saja.

Berada di sini, saya mencoba melihat segala-sesuatu dari perspektif yang berbeda. Mempelajari hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Terbiasa dengan mendayung perahu berpasangan, saya dan pasangan bekerja sudah terpola dalam sebuah pengkotakan (istilah kerennya: spesialisasi) tanggung jawab. Sekarang saya harus bertanggungjawab mempersiapkan perahu, menentukan arahnya, memilih jenis kayu yang cocok, memutuskan cara mendayung yang efisien, menyemangati mereka yang kelelahan dalam mendayung, mengantisipasi ombak besar, dll... dll. Sebuah tanggungjawab besar yang benar-benar tak terpikirkan sebelumnya.

Sekarang saya juga harus bisa melihat menggunakan kacamata pengamat dari mercusuar. Keterlibatan pada hal yang hingga sekecil-kecilnya kerap membuat saya lupa bahwa arah perahu ini mulai berubah. Kompas yang seharusnya menjadi penentu arah justru malah sering rusak karena terus-menerus tersiram atau bahkan tercebur di air laut. Mau nggak mau, ilmu klasik perbintangan kembali jadi andalan. Tapi sepertinya memang harus begitu, pas banget dengan taglinenya Lowe: "Back To Square One". Hal yang selalu terjadi dalam pekerjaan kita. Eksplorasi kesana-kemari, balik-baliknya ke langkah awal lagi :).

Hal yang paling sulit tapi justru paling penting dalam tempat sekarang adalah membunuh ego. Bisa menerima kenyataan kalau kita memang cuma manusia biasa. Manusia dengan segala kelebihan + banyak kekurangan. Menerima kenyataan bahwa dalam kondisi tertentu, pilihan dayung dari orang yang pengalaman mendayungnya lebih pendek dari kita; kadang adalah pilihan yang lebih tepat.

1 year have passed, so many years to come. Entah berapa lama lagi harus menempa diri. Tapi kalau kata orang sih, pelajaran tak kenal henti. Sepertinya cara yang lebih asik adalah nyiapin bekal supaya dalam pendayungan berikutnya, saya punya bekal yang memadai sehingga nggak perlu kehabisan tenaga. Mari nyanyikan sama-sama: "Ayoooo sekolaaaaaaaah".