Pages

Thursday, January 26, 2006

Dukung atau Tidak

Sebuah polemik terjadi. Temanya mengenai sebuah majalah luar yang akan diadaptasi. Seperti biasa, saat titik temu gak tercapai, voting/petisi jadi pilihan. Entah memang untuk menyuarakan suara hati, atau sekedar perpanjangan waktu sampai keputusan muncul (biasanya sih keputusan udah ketebak, tinggal masalah kapannya aja).

Seorang teman mem-forward (sumpeh gw gak tauk terjemahan yang tepat untuk mem-forward) imel mengenai petisi tersebut. Kita bisa milih untuk mendukung atau menolak. Saya pilih MENOLAK. Saya menolak untuk memilih. Alias abstain. Nggak punya kepastian? Nggak juga. Tapi saya menolak untuk terjebak dalam polemik nggak jelas.

Menurut saya, saat kita mengajukan petisi/voting, sebaiknya dua pihak didasari atas landasan berpikir dan kerangka referensi yang sama. Perbedaannya seharusnya adalah pada interpretasi atas topik tertentu. Sedangkan polemik yang terjadi saat ini buat saya adalah omong kosong. Pihak yang menolak menggunakan landasan norma dan agama sebagai acuan, sedangkan yang mendukung... berangkat dari syahwat sebagai landasan. Dua titik acuan dari kubu yang berbeda dan tidak akan pernah ada titik temunya.

Di ajaran agama mana pun tidak ada yang memperbolehkan mengumbar syahwat di depan publik. Tapi bagi mereka yang menganggap dirinya berpikiran maju dan menganut paham sekuler, ajaran-ajaran agama/norma hanya akan membatasi kreatifitas berekspresi. Karena itu saya memilih abstain. Saya nggak mau dicap sebagai orang yang bejat, tapi saya juga nggak setuju kalau ajaran agama/norma itu diidentikkan dengan kekolotan.

Mencoba belajar dari sejarah, agama dan norma itu memiliki satu tujuan mulia. Menciptakan pola hidup yang lebih teratur dan tidak semau-maunya. Buktinya cukup banyak (meskipun ada juga bukti yang memperlihatkan timbulnya kekacauan saat agama dijadikan sebagai landasan ideologi politik suatu negara). Seketat-ketatnya aturan agama/norma itu ditegakkan, yang namanaya sisi seberang (oposisi) akan tetap eksis. Kisah ini sudah dimulai jauh beberapa masa yang lalu saat salah seorang anak Adam membunuh saudaranya sendiri atas dasar kecemburuan.

Tanpa ada niatan untuk menjadi skeptis, saya pikir; ada baiknya ini dipulangkan kembali pada individu. Biarin aja majalah itu muncul, kalau kita dengan kesadaran penuh merasa bahwa majalah itu nggak ada manfaatnya, ya nggak usah dibeli. Kalau nggak ada yang beli, masa iya majalah itu bakal diterbitin terus? Emang duit punya nenek moyangnya apa? Menyuarakan aspirasi dan pendapat sih boleh aja. Tapi jangan terus bikin dikotomi yang menyulitkan orang kaleeeeee. Que sera-sera. Apa yang akan terjadi, terjadilah.


PS
Jangan heran kalo saya tiba-tiba jadi aktif nulis di blog. Ini lagi di PH, nungguin proses online 'award winning' running text kategori Penggunaan Image Produk Secara Kreatif.

What will you do if you have only one wish?

Apa yang akan kamu katakan jika punya satu keinginan yang bisa dikabulkan?

Mewujudkan mimpi-mimpi masa lalu?
Mengulang usia?
Kekayaan tak terhingga?
Wajah yang tampan/cantik?
Punya semua yang kamu butuhkan?
Jadi satu-satunya lelaki di dunia dan semua wanita secantik dan seseksi Jessica Alba?
Jadi presiden United State of The World?
Kreatifitas setingkat gabungan David Droga, Ogilvy, Burnett, Bernbach, Jim Aitchison, dll?
Punya pabrik uang?
Gonta-ganti mobil mewah tiap hari seumur hidup?
Memiliki President Suite di setiap apartemen mewah di Jakarta?

Kalau saat ini, saya cuma punya satu keinginan. Saya mau saya bisa tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini.

Tuesday, January 24, 2006

DIA dan arah

Sebuah percapakan maya (baca: chatting; red.) yang singkat terjadi malam ini. Seorang teman menggunakan istilah hubungan vertikal untuk menggambarkan hubungan manusia-Tuhan, dan hubungan horisontal untuk hubungan dengan sesama. Tidak ada yang salah memang. Orang lain pun kerap menggunakan istilah tersebut. Saya pun dulu mengamini penggunaan kata ganti "vertikal dan horisontal" tersebut.

Tapi kita tak perlu selamanya harus bersikap nrimo kan? Saat ini saya cuma iseng menggugat diri sendiri. Apa iya representatif dari arah hubungan manusia-Tuhan adalah dengan istilah horisontal? Penggunaan istilah tersebut sepertinya memiliki rasional sangat sederhana. Derajat manusia berada di bawah Tuhan! Tapi kalau dilihat secara makna/esensi, apa masih penting penderajatan atas-bawah itu diterapkan?

Dalam ajaran yang saya percayai, istilahnya pun bukan dengan atas-bawah. Tapi "hablum minallah" dan "hablum minannaas" (kalo salah mohon dikoreksi). Ditambah lagi adanya salah satu ayat/hadis (saya gak gitu inget) yang mengatakan "Di mana pun kau hadapkan wajahmu, di situ lah wajah Tuhan berada". Kalau kita percaya bahwa hakikat Tuhan sebagai penguasa semesta alam, berarti Dia bukan lagi di atas kita, melainkan meliputi kita dan seluruh ciptaan-Nya. Di mana-mana. Ke atas, bawah, kiri, kanan. Dia bisa ada di atas kepala kita, di bawah telapak kaki, di sisi kiri/kanan, di dalam kita, di dalam semua orang.

Dia ada dalam kita, kita semua dalam Dia... diilustrasikan secara sederhana dengan perlambangan Yin-Yang. Menganalisa lambang tersebut, masihkah kita bisa menjelaskan mana yang atas, mana yang bawah?