Pages

Sunday, May 08, 2005

Jangan Berasumsi!

Kompas Minggu 8 Mei 2005. Pada salah satu halamannya, ada tulisan menarik mengenai Megalitikum Kuantum. Suatu upaya perumusan formulasi untuk menghasilkan racikan musik yang merupakan kolaborasi secara utuh antara musik tradisional dengan internasional. Saya anggap itu kolaborasi utuh, bukan sekedar memainkan nada-nada slendro atau pentatonik menggunakan instrumen modern. Saya tidak membahas terminologi itu lebih jauh karena saya ingin mengangkat topik yang saya anggap penting pada tulisan itu.

"Asumsi mengenai publik, mengenai masyarakat, mengenai kebudayaan, itulah yang harus terus digugat dari waktu ke waktu."


Sudah terlalu lama memang kita terbelenggu oleh pengkotakan selera yang didasarkan pada "selera pasar". Dua kata yang menjadi landasan utama pergerakan arah bisnis. Sebuah antitesis dari semangat sang trendsetter. Pembuat trend tidak akan pernah mengikuti selera pasar karena itu berarti dia akan menjadi follower instead of innovator. Bagaimana sebuah kekhawatiran akan ketidak-sesuaian dengan selera pasar bisa membunuh semangat untuk menghasilkan yang terbaru.

Kondisi serupa kita alami di dunia iklan. Dunia tercinta yang untuknya kita rela mengorbankan hampir 80% waktu kita. Coba tanya kawan-kawan seperjuangan, berapa banyak yang pernah mengalami perombakan ide kreatif oleh klien dengan alasan "masyarakat nggak akan nerima". Sebegitu statisnya kah masyarakat?

Sayangnya situasi ini lebih banyak disikapi dengan semangat permisif oleh para kreator iklan. Semangat membuat iklan bagus sudah terpatahkan oleh asumsi (balik-balik asumsi lagi... asumsi lagi) bahwa klien tidak akan setuju.

Tidak ada kemenangan tanpa perjuangan. Bahwa sebagian besar orang takut untuk menerima perubahan, itu adalah hal wajar. Advertising agency dalam hal ini tabu untuk berada dalam koridor "kebanyakan orang" itu. Kita berbeda. Kita menonjol. Kita netral. Untuk itu kita dituntut bisa melihat situasi dan kondisi nyata di masyarakat secara jeli dan komprehensif. Terjun langsung. Jangan cuma mengandalkan statistik.

Kita adalah konsultan bagi klien. Iringi dengan sikap dan perilaku yang sesuai. Kalau kita cuma bisa menyerah dan terus-terusan mengekor pada selera klien, pada akhirnya klien sadar bahwa sebenarnya mereka lah yang berpikir. Bukan kita. Kalau kita menganggap klien salah, cari cara bagaimana membuktikan bahwa pendirian klien salah. Jika kita yakin konsumen kita pandai, buktikan hal itu pada klien. Jangan cuma bisa mengutip "Consumers are not moron", tunjukkan buktinya.

Balik ke artikel di Kompas, disitu diungkapkan satu kasus yang dialami salah seorang diva dangdut Iyet Bustami.

"DENGAR pengakuan penyanyi Iyeth Bustami (30) ketika mencoba menawarkan rekaman dangdut dengan konsep dasar zapin-Melayu. Ia mengenang, dia harus seperti mengemis-ngemis ke produser. Industri (hiburan) kita memang semata-mata cuma mengenal "musica franca" yang didikte kapitalisme global."

Sebenarnya selera pasar bukanlah sesuatu yang mutlak. Masyarakat selalu bergerak dinamis dan menuntut lahirnya inovasi-inovasi baru yang berani tampil beda. Karena itu lah sebenarnya esensi dari trend. Seperti yang terjadi pada Elvis Presley, The Beatles dan Koes Plus.

Perjuangan akan selalu membuat perih dan menuntut jerih upaya yang luar biasa. Tapi percayalah... buahnya sangat manis untuk dinikmati.