Pages

Monday, March 28, 2005

Live In It, Not Live From It!

Image hosted by Photobucket.com
[Tulisan ini terinspirasi dari postingan Diki Satya di blognya.]


So... so you think you can tell
Heaven from hell
Blue sky from pain


Jadi... bisa kah kau bedakan...
Antara surga dan neraka...
Langit biru dan kepedihan...

Terkadang membandingkan satu dengan hal lainnya tidak lah semudah perkiraan. Membandingkan antara peran antagonis dan protagonis dalam film pun tidak lagi semudah masa-masa lampau. Saat sekarang, semuanya seakan berada dalam grey area... wilayah ketidakpastian. Brewokan dan dekil belum tentu penjahat. Necis, berdasi dan bersih bukan berarti orang budiman. Satu-satunya yang kebudimanannya permanen hingga saat ini cuma Budiman Hakim, ECD-nya Macs909.

Jangan heran makanya kenapa dalam lagu "Wish You Were Here"-nya Pink Floyd, dipertanyakan perbedaan-perbedaan yang kian terjebak dalam wilayah absurditas tersebut. Sebuah pertanyaan yang terlihat sederhana, tapi sangat sulit saat kita berusaha mengangkat esensi dan hakikat dari pertanyaan tersebut pada kumpulan fakta-fakta atau kenyataan sosial ataupun interpretasi manusia... yang menurut pendapat pribadi kita merupakan rangkuman dalam bentuk jawaban.

Saat logika tak lagi bersahabat, saat nalar enggan berkompromi, tidak ada salahnya kita gunakan satu indera (kalau bisa dianggap begitu) dalam diri kita yang begitu primitif dan jarang terjamah, tapi berdampak besar. Indera itu adalah RASA.

"Ah... itu mah gampang. Asin, manis, pedas. Itu kan nama-nama rasa!"
Qeqeqeqeqe... bukan itu maksud saya. Rasa ini bukan dalam bentuk konkrit dan tangible. Terminologi rasa yang saya maksudkan adalah sesuatu yang tidak kasat mata dan sering menyentuh hati kita. Rasa yang bisa mengombang-ambingkan diri kita tanpa kita sadari. Rasa yang kekuatannya bisa mengalahkan gelombang arus tsunami, menggulung kita dalam ketakberdayaan.

Rasa ini pula yang saya gunakan saat menyaksikan pertunjukan musik. Rasa ini juga yang membedakan kenikmatan saat saya menikmati pertunjukan musik group-group luar dengan group-group lokalan. Memang, tidak banyak live show yang saya hadiri langsung. Phil Collins, Europe, Metallica, Sting... itu saja. Selebihnya saya nikmati dalam bentuk DVD (U2, Steve Vai, Paul Gilbert, Jimi Hendrix, Ringo Star All Star Band, Dream Theatre, dll.).

Ada kenikmatan tersendiri saat melihat bagaimana Phil Collins begitu nyaman berada di antara kungkungan tom-tom dan simbalnya. Bagaimana Steve Vai bisa terlihat sangat mesra bersetubuh dengan gitarnya. Bagaimana Tony Bank tak terpengaruh riuh rendah tepukan penonton saat dia menggerayangi tuts-tuts keyboardnya dengan khusuk. Tanpa sadar... saya bisa meneteskan air mata. Seakan saya terbawa dalam kehikmatan para musisi-musisi tersebut dalam permainan mereka. Begitu menghanyutkan.

Ganti saluran! Pindah ke A-Mild Soundrenalin. Berenteng grup-grup lokal saling unjuk gigi. Berlompat-lompat, berlonjakan, teriak, menggebuk drum, mencacah gitar, macam-macam lah pokoknya. Atraksi mereka begitu atraktif. Tapi sayang, kok tidak meninggalkan bekas ya? Tidak sedikit pun saya tergerak untuk ikut serta mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama lagu. Tidak juga menggumamkan lirih lirik-lirik lagu mereka. Tidak ada. Terhibur? Ya. Terkesima? Hm... nggak terlalu tuh.

Saya merasa, musisi-musisi yang saya sangat menikmati untuk menonton live show-nya tersebut, benar-benar menghidupi musik mereka. Setiap nada yang tercipta berisi makna-makna kehidupan. Beda dengan grup-grup lokalan tersebut. Mereka seakan-akan bertindak atraktif sebagai bentuk tanggung jawab mereka karena bisa hidup dari bermusik.

Cuma sedikit musisi lokal yang bisa merasuki kenikmatan saya dalam menonton. Iwan Fals salah satunya... beserta gerombolan-gerombolan Kantata Takwanya tentu (kecuali Setiawan Djody qeqeqeqe...). Sempat terbayang, apa rasanya melihat Iwan Fals, Sawung Djabo, Edi Kemput berada sepanggung dengan Tony Bank, Billy Sheehan dan Phil Collins. Akankah saya terpaku dalam gelinang air mata? Atau terduduk diam dan lemas dalam ketidakberdayaan akibat hanyutan emosi yang tercipta di atas panggung? Apa pun itu, tentunya sangat menarik.

Tuesday, March 22, 2005

Mau Kamu Apa?

"Mau kamu apa? Kamu nggak bisa kaya' gini. Kalau mau ngobrol ya ngobrol. Nggak usah pakai kasih gesture-gesture seolah-olah kamu butuh teman ngobrol, tapi saat aku menawarkan diri untuk mendengarkan semua keluh-kesah kamu... kamu langsung bersikap nggak butuh untuk didengarkan!"

"Terus terang... aku capek dengan kondisi seperti ini. Kamu bikin aku seperti berada dalam wilayah keragu-raguan. Begini salah, begitu makin salah, nggak begini dan nggak begitu... kamu sedih. Aku bukan dewa yang bisa baca pikiran kamu. Kalau kamu mau dimengerti, kamu juga harus paham bahwa pengertian itu datang dari komunikasi."

"Aku benar-benar nggak ngerti sama kamu. Kamu sendiri sadar kalau menggantungkan harapan pada sesuatu yang nggak pasti itu adalah kesia-siaan. Tapi sekarang kenapa sikap kamu menunjukkan seolah-olah aku yang selalu memaksa kamu untuk bergantung pada harapan semu itu?"

"Bisa membantu mengurangi beban kamu adalah hal yang membahagiakan buat aku. Tapi kamu nggak bisa berharap aku untuk terus care sama kamu sementara kamu sibuk sendiri dengan dunia kamu. Kamu sadar nggak kalau sikap kamu tuh memperlihatkan ketidakbutuhan kamu akan kehadiran aku. Bahkan untuk sekedar menjadi tempat pelampiasan kekesalan dan kepenatan kamu."

"Mau kamu apa jadinya? Ngomong dong... jangan cuma diam!"

Wajah Lastri tetap terperangah tidak mengerti apa yang diucapkan Samsul. Dia berusaha membaca setiap gerak bibir Samsul, tapi karena ucapannya begitu cepat memberondongnya... Lastri tak sanggup untuk mengikutinya.

Sejuta perasaan berkecamuk dan bergemuruh dalam dada Lastri. Ingin rasanya dia ucapkan semuanya. Tapi semenjak dia kehilangan indera pendengarannya 3 bulan silam, dia takut salah bicara. Yang keluar dari mulut Lastri cuma satu bisikan lirih, "Maaf...".

Monday, March 21, 2005

Dicubit Itu Nggak Enak Tauk !!!

Saat kecil, saya sering dicubit. Kebanyakan oleh orang tua, karena kenakalan dan kebandelan saya; juga oleh guru, lagi-lagi karena kenakalan dan kebandelan saya.

Intensita pencubitannya bermacam-macam. Paling ringan cuma meniggalkan bekas merah. Tapi bekas yang membiru dan bisa terlihat sampai 3 hari kemudian juga sering.

Saat bekas cubitan itu masih berwarna biru, merupakan saat yang paling tidak nyaman. Bekas cubitan itu masih menimbulkan rasa nyeri bisa terlibat kontak dengan benda lain (orang, binatan atau benda mati).

Setelah saya dewasa, cubitan biasanya diberikan oleh teman-teman wanita yang saya "kerjain" (konotasi positif lho ya... bukan negatif). Saking gemesnya, teman-teman yang saya "godain" (lagi-lagi konotasi positif) jadi nggak tahan dan kemudian mencubit saya. Bekasnya juga bermacam-macam, tergantung intensitas pencubitan.

Setelah beberapa waktu lewat tanpa penderitaan yang merupakan dampak dari pencubitan, tiba-tiba hari ini saya dicubit lagi. Anehnya, cubitan ini tidak saya rasakan pada bagian luar tubuh (kulit). Tapi di dalam.

Jelas tidak menimbulkan bekas eksternal. Tidak ada warna biru ataupun merah di permukaan kulit. Anehnya, sakitnya malah lebih sakit. Oleh salah seorang pencipta lagu dangdut malah diibaratkan lebih parah dari sakit gigi.

Cubitan itu begitu lembut, pelan... tapi benar-benar menusuk. Dalam. Dingin. Tanpa belas kasihan. Sialnya lagi, orang yang mencubit ini nggak sadar kalau hal yang dia lakukan (saya yakin dia tidak bermaksud apa-apa dengan tindakannya itu) atas dasar kejujuran... sebenarnya malah membuat saya tercubit.

Rasanya saya mau menelan 10 butir Ponstan 500mg sekaligus, biar rasa sakit itu bisa terbunuh. Tapi hal ini bisa merugikan individu-individu terdekat yang saya cintai.

Saat ini saya cuma bisa teriak (meskipun saya yakin, orang yang mencubit saya ini nggak akan bisa mendengarkan teriakan saya) kalau DICUBIT ITU NGGAK ENAK TAUK !!!


Tulisan ini juga saya posting di bucin.multiply.com.

Friday, March 18, 2005

Dia Laki-Laki Keturunan (CERSANGPEN: cerita sangat pendek)

Dia laki-laki keturunan. Perawakannya tinggi agak kurus. Kehadirannya rutin, sebulan sekali. Tak banyak bicara memang dia. Ketika datang pun dia langsung masuk ke ruangan kerja yang disediakan, tanpa basa-basi sedikitpun. Setelah menutup pintu, kegiatannya sehari penuh adalah duduk di depan komputer yang monitornya membelakangi jendela (kami tak pernah bisa melihat jelas apa yang dia kerjakan).

Dia laki-laki keturunan. Dari penampilan fisiknya bisa ditebak, dia keturunan Tionghoa. Apakah dia bisa berbicara bahasa Mandarin... atau kah Kanton? Tak ada yang pernah tahu dengan pasti. Orang-orang yang dekat dengan dia pun cuma segelintir. HRD dan Finance Director. Sudah! Itu saja "teman"-nya.

Dia laki-laki keturunan. Kemeja putih dan celana panjang hitam adalah pakaian favoritnya. Tanpa dasi, tanpa jas. Hanya kemeja dan celana. Rambutnya haya disisir sekenanya, bahkan cenderung agak berantakan. Minyak wangi dan gel rambut merupakan hal yang tak pernah terlibat dalam kesehariannya.

Dia laki-laki keturunan. Sosoknya begitu misterius. Tak ada yang tahu siapa namanya, di mana dia tinggal, atau informasi apa pun tentangnya. Seperti sudah saya bilang, tak ada yang pernah berbincang-bincang dengannya.

Dia laki-laki keturunan. Selama hampir 7 bulan saya menempati kantor baru ini, tak pernah sekali pun ada yang mencari-cari dia. Ketidakhadirannya tak menimbulkan pertanyaan. Ketidakhadirannya tak memancing keingintahuan orang-orang. Sepertinya tak ada yang peduli terhadapnya. Tapi... entah lah, setiap dia datang... biasanya membawa kebahagiaan tersendiri. Kehadirannya membawa rasa aman. Keberadaannya memberi makna bahwa pekerjaan yang saya, teman saya... kami semua lakukan... tidak lah sia-sia.

Dia laki-laki keturunan. Ya... dia memang laki-laki keturunan yang tugasnya cuma satu: mentransfer gaji ke rekening karyawan secara elektronik melalui internet-banking. Itu saja. Dan saat ini, saya sedang tersenyum melihat dia bekerja dengan serius. Saya tersenyum membayangkan hari Senin siang minggu depan, angka-angka dalam rekening tabungan saya sudah bertambah jumlahnya.

Terima kasih wahai laki-laki keturunan.

Monday, March 14, 2005

Penghuni Terakhir, Kekuasaan dan Tekanan

“Mang Ade, ini permintaan saya dan harus dijawab dengan menyebut nama! Dari 3 penghuni terbawah di dua hari terakhir, siapa yang akan Mang Ade ekstradisi?” tanya salah seorang dewan juri pada Mang Ade selaku pemegang kunci di malam esktradisi.

Juri. Hmmm... sebuah jabatan yang menunjukkan bahwa si empunya berada dalam posisi penting dan mempunyai otoritas signifikan dalam pengambilan keputusan. Sebuah tittle pendek yang membuat si pemegang jabatan melupakan esensi keberadaannya di acara tersebut dan membuai dia dengan iming-iming kekuasaan tak terbatas.

Kalau mau sadar, keberadaan dewan juri di malam ekstradisi sesungguhnya nggak ada artinya sama sekali. Mereka cuma datang, duduk, tanya-tanya, selesai! Apa kekuasaan yang mereka miliki? Nggak ada sama sekali! Wong pemenang juga ditentukan oleh SMS dukungan. Makanya saya bingung, kenapa salah satu dewan juri itu bisa merasa punya otoritas untuk menekan Mang Ade buat membuka informasi yang tidak etis untuk ditanyakan. Kelihatan sekali kalau memang manusia ternyata gampang keblinger dengan yang namanya jabatan. Jabatan yang mustinya membawa tanggungjawab lebih besar bagi pemiliknya.

Entah berapa banyak jabatan yang justru dijadikan media untuk menimbulkan tekanan. Atas nama senioritas, orang tua, strata sosial, kekuasaan, otoritas... (you name it) seseorang bisa dengan semena-mena merugikan individu lain yang notabene adalah sejajar harkat dan hakikatnya dalam kehidupan.

Yang lebih menggelikan lagi adalah saat Tina Zakaria... sang MC, “memaksa” secara halus; Diana (salah satu penghuni) untuk melakukan pose dengan ekspresi “ancur”. Penonton terpingkal-pingkal. Diana cuma merasa malu. Tapi dia nggak sadar, kalau sang MC telah melakukan “pemerkosaan” terhadapnya.

Belum lagi arogansi Helmi Yahya yang bisanya saat membawakan game bersikap seolah-olah dia pemegang kekuasaan mutlak atas eksistensi para penghuni dalam rumah petir.

Sementara itu di sisi lain, salah seorang peserta yang dalam setiap episode selalu berada dalam “kursi pesakitan” (3 polling SMS terendah) menjadi cemburu karena dia harus berjuang sangat keras dalam usaha perebutan jabatan “Pemegang Kunci”. Kekesalan yang terakumulasi selama 7 minggu akhirnya pecah dan dia tumpahkan ke penghuni lain yang notabene selalu aman karena terus mendapat dukungan polling SMS yang tinggi. “Lo bisanya cuma sembunyi dibalik dukungan SMS... nggak pernah berani bersaing!”. Qeqeqeqe... kekesalan klasik yang biasa timbul dari golongan tertindas (atau setidaknya yang merasa tertindas). Dia lupa bahwa inti dari acara ini sesungguhnya adalah dukungan publik dalam bentuk SMS atau premium call.

Ah... apa iya semua harus jadi seperti ini? Orang menyelewengkan jabatan, orang yang kurang dukungan merasa jadi yang tertindas? Atau kah ini potret sesungguhnya dari kehidupan nyata? Entah lah. Yang jelas jangan lupa nonton Penghuni Terakhir Beranda; Senin-Sabtu; dan Penghuni Terakhir Ekstradisi; tiap Minggu pukul 20:30. Lumayan lah buat lucu-lucuan. Qeqeqeqeqe...

Tuesday, March 08, 2005

I'm A Loser

I'm a loser
I'm a loser
And I'm not what I appear to be


Kenapa citra menjadi orang kalah adalah negatif? Apa salahnya menjadi orang yang kalah? Apakah menjadi kalah berarti tidak menang? Memangnya kalau menang pasti nggak kalah?

Kalah-menang... sebuah fenomena sosial yang menjadi bagian dari keseharian kita. Setiap hari kita lihat ada yang menang, pasti ada yang kalah. Sudah menjadi ketentuan Tuhan bahwa segala sesuatu itu diciptakan berpasangan. Jadi, saat kita memulai suatu kompetisi, saat kita mencanangkan untuk berusaha jadi pemenang, saat kita mengerahkan segala yang terbaik dari diri kita... sama artinya dengan kita mempersiapkan diri untuk jadi yang kalah.

Sudah ngerti konsekwensi dan risikonya, tapi kenapa kalah kok masih jadi sesuatu yang "memalukan"? Salah satu faktor yang menjadi pemicunya mungkin adalah masa Orde Baru. Ya... orba! Masa di mana hasil adalah segalanya. Persetan dengan proses. Masa dimana semua orang berlomba-lomba menjadi pemenang dengan menghalalkan segala cara. Masa dimana banyak orang menghujat dan mencemooh yang kalah.

I'm a loser
I'm a loser
And I'm not what I appear to be


Lihat sekeliling kita. Masih banyak orang kalah yang menyamar jadi pemenang. Hipokrasi, gengsi, bau terasi... semua semu. Nggak ada yang berani tampil jujur dan apa adanya. Tengok ke sebelah... apa iya orang yang kita anggap 'orang kalah' adalah mereka yang kehilangan segalanya?

Jangan takut untuk kalah. Saat kita menafikan kekalahan, saat itu pula kita mendegradasikan kemenangan. Kemenangan tak bermakna tanpa kekalahan. Belajar dari kekalahan... itu benar! Tapi juga bukan berarti keasikan belajar sampai lupa menang.

Perhatikan kekalahan. Pahami maknanya. Maka kemenangan menjadi sesuatu yang lebih indah.


Inspired by Glenn, Subiakto, my personal experiences and the whole world.

Monday, March 07, 2005

TTG (Teka-Teki Garing)

Jangan terlalu serius bacanya yak! Ntar jadi bete ndiri. Enjoy!


Hewan apa yang bersaudara?
Katak beradik

Telor apa yang ditakuti sama telor lainnya?
Telor asin, soalnya ada tatonya

Telor asin paling takut ama telor apa ?
Telor Puyuh, soalnya tatonya lebih banyak

Apa persamaan antara ASI dan air mineral?
Sumbernya sama, dari pegunungan

Kenapa robin jadi pembasmi kejahatan?
Soalnya dia ketemu sama batman.... kalo ketemunya sama baskin dia
bakalan buka toko eskrim

Burung apa yang sayapnya satu?
Burung ngelamar kerjaan (sayap satunya megang map)

Apa persamaan telpon ama jemuran?
Kalau 'kering' diangkat. Hihihi!

Apa bahasa Indianya bumbu dapur?
Tumbar miri jahe

Orang apa kalau dipukul gak sakit-sakit?
Orang gak kena ...........yeeeeeeeeee

Sebutin 3 jagoan tertolol!
Superman--pakai kolor diluar!!
Robin--pakai kolor doang!!
Batman--sudah tahu Superman ama Robin tolol, masih ditemenin.

Apa bahasa Cinanya anak kecil terpeleset?
Lichin thong...

Rambo lahirnya dimana?
Di turunan, waktu nganterin ibunya, mobil bapaknya remnya blong, si ibu
bilang rem bo'!

Anak apa yang paling jelek di dunia?
Anak-anak bilang sih elo... (qeqeqe... tidak berlaku bagi pemilik blog)

Ikan apa yg bertahan lama hidup di darat?
Ikan panjang umur

Apa persamaannya batu dengan buta?
Sama-sama tidak baik untuk mata.

Kuman apa yang dipatuhi teman-temannya?
Kumandan upacara.

Apakah Limau itu?
Duau ditambah Tigau

Mengapa bumi selalu berputar mengelilingi matahari?
Karena ingin mencari diskon Matahari yang paling besar.

Mengapa batman pakai topeng?
Karena malu celana dalamnya keliatan.

Kenapa Batman & Robin keluarnya malem?
Kalo keluar pagi kena Three in One.

Binatang apa yang paling haram?
Babi hamil, soalnya mengandung babi

Friday, March 04, 2005

Dalam Dentuman Kulihat Dia

Asiiiiik ntar malem dugem lagi. "Fear No Deadline" di BC Bar. Ratusan orang dari komunitas periklanan berkumpul dalam satu suasana yang penuh hingar bingar, alkohol, tembakau, si biru mungil dan dentuman seperangkat sistem suara.

Entah kenapa... suasana seperti itu membuat saya sangat mudah berkontemplasi. Dalam kegelapan, dalam siraman lampu warna-warni, dalam hentakan di dada akibat terhantam suara berfrekwensi rendah dari subwoofer... saya begitu mudah melayang. Terbang... tinggi... semakin tinggi... mencapai keheningan. Di situ saya menemukan jejeran asma berdiri berbaris rapi. Satu persatu keseluruhan 99 asma itu memancarkan sinar terang menghangatkan tapi tidak menyilaukan. Ketika semua sinar berkumpul, saya sudah berada di suatu tempat nan indah. Berlantai cahaya berlangitkan ketakterbatasan. Tapi langit-ketakterbatasan itu berwarna biru cenderung hijau, berbaur dalam gradasi yang sempurna dan seimbang.

Di situ cuma ada aku dan Aku. Ku sapa Dia. Dia diam dan tersenyum. Senyuman sederhana namun memiliki sejuta makna. Ku hampiri dia... namun aneh, jarak yang hanya beberapa langkah itu seakan tak bergeming. Tak perduli secepat apa saya berlari.... jarak kita tetap sama. Tetap dekat tapi tak terjangkau. Saat saya mencoba menjangkau Dia... tiba-tiba seolah tersedot pusaran air, saya terhisap dalam kumparan nan gelap. Dalam sekedipan mata saya sudah berada kembali di tengah-tengah keramaian.

Biasanya perjalanan itu diakhiri dengan ucapan "Sori..." dari seseorang tepat di sebelah saya tapi tidak saya kenal. Setelah mengucapkan permohonan maafnya, orang itu kemudian berlalu dan menghilang di rumpunan tubuh-tubuh manusia yang menyemut.

... dan lampu tetap bekerlap-kerlip... musik pun tetap berdentum. Tapi saya kehilangan kesendirian saya yang penuh arti.

Sampai ketemu nanti malam teman-teman...!

I'm A Human Dalmatian

Cacar air yg baru saja pergi dari terminal B (Bucin; qeqeqe...) tidak hilang begitu saja. Mereka meninggalkan bekas yang cukup signifikan dalam proses pengurangan kadar kegantengan saya (mending ge-er daripada minder huahahahaha).

Biar nanti-nanti kalo ketemu saya kalian nggak kaget, nih penampilan saya yang baru. Jangan takut ya.... qeqeqeqe...



Wednesday, March 02, 2005

My Folks!



Mereka cuma orang biasa. Tinggal juga cuma di kompleks Bank Tabungan Negara (baca: KPR BTN; red.) tipe 70, 2 tingkat. Mobilnya Mitsubishi T120SS yang sejak pertama beli di tahun 1990 belum diganti-ganti sampai sekarang. Dua-duanya pegawai negeri. Bokap pensiunan, dulu dinas di TVRI dengan jabatan terakhir cuma Cameraman. Nyokap juga cuma guru SD. Really, there's nothing special about them. Nggak ada juga yang bisa bikin kalian-kalian yang baca postingan ini, terkagum-kagum akan kehebatan atau keluar-biasaan. Asli. Orang tua saya adalah manusia biasa, manusia kebanyakan.

Saya menulis ini juga agak-agak narsis mungkin. Karena semua dilandaskan atas kekaguman saya pada mereka. Saya kagum akan kenekatan mereka. Keberanian untuk meninggalkan kenyamanan demi pengalaman baru yang lebih menantang. Keinginan untuk terus berjuang.

Semua berawal dari 23 tahun sebelumnya (di tahun 1981 tepatnya). Saat itu papa (that's what I called him) sudah sekitar satu tahun menjabat sebagai Kabag (Kepala Bagian) Pemberitaan di TVRI Makassar. Bukan jabatan mewah kok. Kendaraan yang papa punya waktu itu cuma motor yang kalau pergi ke mana-mana dinaikin ber-6 (papa, mama dan 4 anak-anaknya). Untung waktu itu belum ada peraturan yang membatasi jumlah penumpang kendaraan bermotor qeqeqeqe. Kemewahan tertinggi yang bisa kita nikmati saat itu cuma kiriman parcel di hari lebaran.

Di tahun 1981 itu, entah kenapa... papa memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Karena mutasi ini bukan inisiatif kantor maka papa harus rela turun jabatan menjadi Cameraman. Tawaran rumah dinas dari Kepala Stasiun TVRI Makassar saat itu (Azis Husain) supaya papa tetap bertahan, ditolak. Sebuah alasan yang kelihatannya tidak masuk akal. Melepaskan jabatan dan fasilitas demi sebuah ego.

Ternyata keputusan "gila" itu membawa banyak sekali manfaat. Bukan dalam bentuk harta, tapi dalam bentuk pengalaman yang tak ternilai. Papa akhirnya bisa 13 kali berangkat haji; meskipun cuma abidin (atas biaya dinas). Mama juga bisa sekali pergi haji gretongan.

Nggak gitu banyak sih manfaat buat mereka, tapi buat saya? RRRUUUAAAARRRR BIASA. Saya bisa kuliah di UI, saya bisa jadi additional guitarist Singiku (sampai nongol di MTV Live 'N Loud malah), saya bisa kerja di Advertising dan berteman dengan artis-artis, saya bisa lihat Monas/Gedung MPR-DPR/Istana Negara/Dufan & Ancol/serta Mangga Besar, saya bisa tiap hari kerja ngelewatin Semanggi, saya bisa ketemu selebritis-selebritis di mall. Pokoknya banyak hal yang kelihatannya sepele, tapi kalau kita tinggal di daerah itu merupakan kejadian istimewa yang nggak akan mungkin bisa dinikmati setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun atau bahkan seumur hidup.

Tanpa saya sadari sebelumnya, ternyata kepindahan orang tua ke Jakarta membuat saya bisa menikmati begitu banyak kenikmatan dan kesempatan. Adek saya yang nomor 2 bahkan bisa mendapat beasiswa dan mengambil S2 di Waltham, Boston (room-mate-an sama Indira Abidin lho... anaknya Indra Abidin... qeqeqeqe....). Ternyata ada sesuatu yang dulu tidak saya sadari tapi sekarang baru saya mengerti. Orang tua saya berkorban demi memberikan anak-anaknya kesempatan yang lebih luas. Kesempatan untuk menikmati pengalaman yang lebih beraneka ragam dalam hidup.

Bisakah saya nanti memberikan kesempatan serta peluang yang sama untuk anak-anak saya? Semoga. Semoga saja. Saya merasa hutang saya pada orang tua, harus saya bayarkan pada anak-anak. Setidaknya, anak-anak saya harus bisa mendapat peluang yang sama; kalau bisa malah yang lebih baik... bahkan yang terbaik.

Ah... ternyata menjadi orang tua itu benar-benar membahagiakan. Thanks dad... mom... for everything. I owe you alot.